UA-153487531-1 30 menit tidurku di kamar 19 - Aini Aziz

30 menit tidurku di kamar 19



Sabtu, 19 April 2014 di Desa Lubuk Gapui. Ini adalah hari kedua inaugurasi. Jika ditanya apa arti inaugurasi, jujur Saya tidak tahu harus menjawab apa. Bahkan sampai sekarang Saya masih belum tahu apa artinya. Jelasnya inaugurasi itu semacam pelatihan dasar untuk peserta yang ingin bergabung dengan salah satu organisasi kepenulisan ternama. Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh tepatnya. 

Semestinya Saya harus hadir dari kemarin. Sayang sekali, karena satu dan lain hal Saya baru bisa datang hari ini. Semua perlengkapan sudah sedia di dalam ransel, tas besar yang biasa Saya gunakan untuk bepergian dua atau tiga hari. selayak perlengkapan mandi, perlengkapan tulis, perlengkapan ibadah bahkan perlengkapana makan sudah selesai dikemas. 

Berangkatlah Saya diantar oleh Usnul. Dia adalah adik Saya. Anak paling bungsu dikeluarga. 
“Ayuk Kak, supir sudah siap. Jangan lupa sediakan imbalan jasa ya, hihihi.” Katanya sambil ketawa cecikikan.

Memang selalu begitu. Sebenarnya tidak ada yang harus membayar dan di bayar, ini hanya sendaan keluarga. Begitulah kami menjalin keakraban.

Ketika dikatakan supir, jangan bayangkan Saya diantar dengan sebuah mobil mewah, katakanlah kijang inova, Toyota Avanza atau CRV, walaka mobil lainnya. 

Tidak, tidak. Ini jauh dari yang saudara bayangkan.  Saya diantar dengan Honda, bukan Honda Jazz juga tentunya. Tapi Honda Supra X 125, warna merah menyala. Jujur itu bukan warna kesukaan saya. 

Berangkat dari rumah jam 09:00 Wib. Jarak dari gampong Saya ke tempat pelatihan itu tidak terlalu jauh. Katakanlah kurang lebih 15 menit perjalanan, mengendarai sepeda motor dengan kecepatan sedang. Rumah Saya di Desa Lambaed kecamatan Kuta Baro, sedang pelatihannya di Desa Lubuk Gapui Kecamatan Ingin Jaya, Saya bisa menempuh jalan Blang Bintang - Lambaro. Ini jalan yang paling pintas. 

Setiba di Lubuk Gapui. Saya jadi kebingungan dengan letak balai pelatihannya. Kata panitia di balai diklat. Sepanjang jalan di Lubuk Gapui tidak Saya temui bangunan yang bernama balai diklat. Yang ada hanya balai Putro Phang, kondisinya sangat kumuh dan tidak terawat.

 nyan kak, nyo bit tempat pelatihan, pu tawo teuma, bek jadeh neuikot (ini kak, seperti ini kondisi tempat pelatihan, apa tidak lebih baik pulang saja, tidak usah ikut).” Kata Usnul sambil menggeleng kepala. Menyaksikan kondisi gedung yang tidak layak itu. 
“Sebentar,  sebentar,  biar Akak hubungi dulu ketua panitianya. Mungkin kita salah tempat. Semoga ada petunjuk.” Saya mengajaknya berdamai dengan kondisi.

Langsung Saya merogoh tas selempang, mengambil hp kemudian menghubungi ketua panitia. 

Salam bang, tempatnya dimana ya? Saya sudah sampai Lubuk Gapui ini. Pas di dekat jembatan panjang.” Kata Saya pada pihak sebelah. Setelah sebelumnya mendengar kata salam darinya.

“Lurus saja buk. Lurus saja sampai lewat jembatan itu, lurus saja dulu pokoknya. Nanti lihat saja disebelah kanan jalan, disebelah kanan gedungnya.” Jawab pihak sebelah.
“Baiklah, terimaksih.” Kata Saya mengakhiri panggilan. 


Saya tambah bingung, diujung  jembatan itu adalah persimpangan dan pasar kecil. Saya hafal betul daerah ini, tapi kenapa panitianya bilang disana ya, atau jangan-jangan memang sudah dibangun balai pelatihan. Setelah beberapa bulan Saya tidak melintasi jalan ini. Begitulah sangka-sangka terus saja membuat Saya tidak tenang.

Saya ikuti saja dulu pernyataan ketua panitia. 

Sampailah diujung jembatan. Benar saja ternyata. Tempat ini masih seperti yang dulu. Hanya pasar kecil. Penjual buah, penjual ikan dan kios-kios kelontong saja yang ada. Tidak ada balai apapun namanya. 

Merasa sudah dikecewakan oleh panitia, Saya hubungi lagi.
“Hallo Bang. Jangan main-main lah! Saya sudah di jalan Banda Aceh - Medan ini.” Kata Saya kepada pihak sebelah dengan nada kecewa.

“Jeh. Kok mundur lagi. tadinya bukan dari situ ya.” Jawabnya terkejut.

Ternyata ini miss komunikasi. Beliau kemudian menjelaskan detailnya, Saya kembali berbalik arah, mundur lagi ke jalan yang sudah Saya lalui tadi. Setelah lebih dari 100 meter, barulah sampai. Nama tempatnya balai BPKB. Sepagar dengan SMA Lubuk. 

“Akhirnya sampai juga.” Kata Saya pada Usnul sambil melepasakan lenguh nafas lega.
Usnul kembali pulang sedang Saya langsung masuk menjumpai panitia.

 “Bang. Ini tepat inagurasi yang diadakan FLP kan?”  Tanya Saya pada seseorang yang sudah Saya kenal sebelumnya. 
Sebenarnya pertanyaan ini hanya bentuk sapaan saja. 

“Bukan, bukan.” Jawabnya ketus dan kemudian dia tertawa, Saya juga menganggap jawaban ini adalah bentuk sendaan juga.

Saya langsung meletakkan tas barang diluar, kemudian segera masuk keruang aula. Sedang  ada penyampaian materi dari ketua Flp. Nuril Annisa. Begitulah yang disampaikan oleh teman disamping kursi yang Saya pilih untuk duduk. Posisinya paling belakang. Paling dekat dengan pintu masuk.

Setelah beberapa saat, penyampaian  materi oleh  Nuril pun selesai.  Jam sudah menunjukan pukul 12:00 Wib. Sudah waktunya makan siang. Semua peserta dipersilahkan untuk kembali ke kamar masing-masing untuk istirahat. Saya memilih untuk bergabung dengan Icha, dia salah satu peserta yang paling Saya kenal selama tes masuk ke FLP.

Sesampai di kamar. Icha menjelaskan bahwa ada beberapa tugas yang harus diselesakan di inagurasi ini:

Pertama. Setiap peserta harus menyelesaikan membaca Alqur’an minimal satu judz.

Kedua. Harus membaca satu buku dan kemudian menuliskan resensinya.

Ketiga. Harus mewawancarai seorang panitia kemudian menuliskan laporan wawancaranya.

Keempat. Harus shalat berjama’ah.

Kelima harus bangun tengah malam untuk qiyamullail 

Wow, Meuhambo
Saya terlambat start. Sekalipun demikian Saya tetap harus menyelesaikan ini semua. Begitulah kata hati.

Azan zuhur dikumandangkan. Ini pertanda sudah waktunya untuk shalat. Mulailah kepanikan pertama. Saya tidak bawa sandal jepit untuk ke mushalla. Kondisi sepatu tidak mungkin untuk dibasuh. Karena bahannya tidak tahan air. Sementara untuk shalat di kamar tidur, itu sama sekali tidak membuat Saya nyaman. Akhirnya. Saya keluar, ke kantin untuk beli sandal jepit. Setelahnya langsung menuju ke mushalla.

Balik ke kamar semua peserta sudah kemas-kemas. Sudah waktunya makan siang. Semua peserta sudah diarahkan untuk kembali ke aula. Masing-masing harus bawa piring, gelas dan sendok sendiri. Tidak membuang-buang waktu Saya pun segera menanggalkan mukena, menggantinya dengan kerudung. Bergegas untuk bisa sama-sama ke ruang aula.

Sesampai di aula. Makanan sudah siap. Nasi bungkus beserta lauk dan minuman masing-masing sudah dibagikan di atas meja. Setiap peserta dipersilahkan. Waktu untuk makan tidak lama. Hanya lima belas menit saja. Setelahnya akan ada pemateri yang akan memberikan materi berikutnya.

Selesai satu materi, lanjut materi yang lain, dengan pemateri yang berbeda juga tentunya. Jika telah sampai waktu shalat, maka istrihatat sejenak untuk shalat dan kemudian lanjut lagi dengan pemateri yang lain, dan materi yang berbeda juga tentunya. Sesekali untuk menghilangkan kejenuhan, para mot mengajak peserta untuk bermain game, game ringan dan seru seruan, ada manfaat dan nilai pelajaran tersendiri tentunya. 

Kini hari telah menjelang sore, semua kembali ke kamar, istrirahat mandi dan shalat magrib. Setelah makan malam dilanjutkan dengan mengikuti materi berikutnya lagi dengan pemateri yang berbeda pula tentunya. Selasai shalat isya pun dilanjutkan dengan materi berikunya, ini lumayan lama. Hingga jam 01:00 malam, tidak terasa. Seru sekali materi yang disajikan. Penuh makna dan kekreatifan pematerinya pun cukup membuat suasana tidak membosankan.

Acara untuk malam ini akhirnya usai. ets, usai di ruang aula, bukan selesai untuk saya. Sadarlah Saya, ada tiga tugas  utama yang belum Saya kerjakan sama sekali. Buku untuk tugas resensi sama sekali belum Saya sentuh, tugas satu judz belum Saya baca se-ayat pun. Hasil wawancara belum Saya tulis. Tapi setidaknya tadi waktu jeda siang Saya telah mewawancarai seorang panitia. Sekalipun jawaban yang diberikan sekenanya saja, tapi Saya rasa ini cukup untuk ditulis dalam selembar kertas.

Ini semua hanya karena terlambat start, Saya harus menyelesaikan ini semua, malam ini juga, deadlinennya besok pagi jam 8 setelah olahraga. O Tuhan. ini adalah keadilan yang sangat menyiksa.

Baiklah, “mari kita selesaikan secara adat”  kata Icha. Teman sekamar. 
Aiza juga belum siap semua kak.” kata teman lainnya memberi semangat. 
Hilwa juga belum.” Nauva juga belum kak.” Masing-masing merespon keluh kesah saya.

 
Baik sekali mereka. Mereka tidak membuat Saya panik. Padahal Saya tahu pasti mereka sudah menyelesaikan sebahagian tugas.

Saya pun meraih kertas, Saya mulai dari menulis hasil wawancara. Setidaknya ini yang paling mudah, karena Saya sudah punya hasil wawancara tadi siang. Mulailah Saya menulis tentang si beliau yang Saya wawancara hingga kertas putih yang tadinya kosong sekarang sudah tewarnai dengan goresan tinta biru.

Jam sudah menunjukan pukul setengah 3 pagi. Baru satu tugas yang selesai. Baiklah. Naura sudah tertidur. Karena tugasnya sudah usai. Tinggal saya, Icha dan Aiza yang masih melek. Mereka sedang menulis resensi dari buku yang sudah dibaca. O Tuhanku yang Maha Kuasa, Saya tidak tahu mau menulis apa, Saya harus membacanya terlebih dahulu.

Antologi cerpen judul depannya A girl in lovely park. Tersusun lebih dari sepuluh judul cerpen didalamnya. Rasanya kalulah bisa Saya ingin panggil Doraemon untuk mengelurkan sesuatu alat canggih dari kantung ajaibnya yang dapat memindahkan isi cerpen itu ke otak saya. Agar bisa Saya tuliskan resensinya.  “Come on Aini , itu bahkan tidak layak dimimpikan. Secara kamu belum bisa tidur hingga sekarang.” Kata hati Saya waktu itu.
sampul antologi yang harus ditulis resensinya
Saya baca satu judul paling awal, satu judul ditengah dan satu judul diakhir. Ceritanya hampir seragam, tentang kisah kasih anak manusia. Cinta ibu pada anak, cinta anak pada orang tua, dan kisah cinta remaja dua jenis yang berbeda. 

“Icha menyerah, ngantuk ini lebih berkuasa.” Begitulah kata Icha sambil menghempaskan badan ke atas ranjang. Sejenak dia tertidur lelap. Icha sudah menyelesaikan tugasnya. Sekarang Tinggal Saya dan Hilwa saja.  

Jam menunjukan pukul  empat subuh. Saya mulai menulis resensi dari apa yang Saya baca. Sesekali Hilwa lelap, Saya membangunkannya karena Saya tahu resensinya juga belum siap.  Dia benar-benar  anak yang cerdas. Bangun dari tidur dia lanjut menulis. Ingatannya sangat baik. Akhirnya  kami berdua selesai juga. Jam setengah lima. Semua selesai.  Dikamar sebelah mereka sudah bangun untuk qiyamullai sedang saya, Saya belum tidur sama sekali.

Icha. Aiza. Nauva dan Hilwa terlelap, dengan semua tugas selesai, sedangkan saya masih ada satu yang belum. Bacaan Al qur’an belum sama sekali. Tidak mungkin Saya paksakan untuk membaca. Tuntutan biologis tubuh harus Saya penuhi. Sekarang waktunya memejam.

Hanya 30 menit saja saudara saudara. Azan subuh berkumandang. Inilah tidur malam terpendek sepanjang usia saya. Sekali lagi hanya tiga puluh menit saja. 

Segera ke kamar mandi, untuk wudhu dan bergegas ke mushalla. Pulang dari mushalla Saya langsung meraih Qur’an. Saya sengaja memilih juz ke 15. Ini adalah bacaan kegemaran. Surat al Isra dan surat Kahfi. Karena sering dibaca maka Saya rasa ini akan lebih mudah untuk Saya selesaikan dalam waktu segera. 

Hanya tinggal tiga lembar lagi untuk selesai satu juz. Sudah terdengar arahan dari panitia. Semua peserta harap  keluar ke lapangan untuk olahraga. 

Baiklah. Saya ikuti dulu. Tidak usah panjang bercerita tentang oleh raga disini. Karena sudah saya ceritakan di postingan judulnya “serius ni? kalau serius kita buat.”
 
Sekembali dari lapangan Saya lanjutkan membaca sisanya. Dan Alhamdulillah selesai juga.

Singkat cerita, selesai semua agenda di inugurasi. Tibalah pengumunan peserta yang lulus dan yang tidak lulus. 

Betapa terkejutnya Saya. Terkejut pertama karena ternyata usaha Hilwa tidak sia-sia. Resensinya menyandang nilai terbaik untuk kategori resensi peserta perempuan. Terkejut kedua kalinya adalah ternyata ketidak ikutan Saya pada hari pertama berdampak besar. Sekalipun Saya sudah melakukan semua tugas yang sama sebagaimana peserta lainnya. Saya tidak terlepas dari neraca keadilan. Keputusannya adalah Saya tidak lulus jika tidak menunaikan satu syarat, yaitu menyerahkan satu buku untuk pustaka rumcay.

Saya belajar banyak hal disini. Inilah adil yang sebenarnya. 





0 Response to "30 menit tidurku di kamar 19"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel