Jangan Serakah
Dear, Cahaya.
Langitkah yang kau buru?
yang mengguyurmu dengan hujan tiba-tiba,
yang memanggangmu dengan terik surya,
yang menyajikan bulatan awan bentuk rupa yang kau suka.
Benar, Cahaya? Benarkah begitu adanya?
Cahaya!
Apakah ufuk itu yang kau tuju?
Bak Srikandi menunggang kuda perang.
Pacumu kian jauh kian menggarang,
Tak hirau deru angin gurun menyorak.
Riuh-redah desir pasir nyanyian alam
Fatamorgana mengulummu hingga tenggelam
Bukan itu yang utama bagimu, Cahaya.
Langit bukan untuk kita.
Lihat ke tanah tempat kaki memijak
Hentak sekali dua
Kau akan sadar
Kita ada untuk kemudian kembali tiada.
Langitkah yang kau buru?
yang mengguyurmu dengan hujan tiba-tiba,
yang memanggangmu dengan terik surya,
yang menyajikan bulatan awan bentuk rupa yang kau suka.
Benar, Cahaya? Benarkah begitu adanya?
Cahaya!
Apakah ufuk itu yang kau tuju?
Bak Srikandi menunggang kuda perang.
Pacumu kian jauh kian menggarang,
Tak hirau deru angin gurun menyorak.
Riuh-redah desir pasir nyanyian alam
Fatamorgana mengulummu hingga tenggelam
Bukan itu yang utama bagimu, Cahaya.
Langit bukan untuk kita.
Lihat ke tanah tempat kaki memijak
Hentak sekali dua
Kau akan sadar
Kita ada untuk kemudian kembali tiada.
0 Response to "Jangan Serakah"
Posting Komentar