#BeraniLebih Percaya Diri
Minggu
pertama di kampus. Aku benar-benar canggung dengan lingkungan baru. Bayangkan
saja, aku hanya anak desa, gadis dari pinggiran yang baru saja menapak di kota.
Berbahasa Indonesia saja masih
terpata-pata (Aceh tok-tok), waktu itu. Lulus sebagai salah satu
mahasiswa Teknik Pertanian Unsyiah tahun 2007 adalah keajaiban. Anugrah terbesar
dari Allah. Betapa tidak, aku mampu bersaing merebut satu kursi dari 7
pendaftar lainnya. Bagaimana pun, ini harus dijalani dengan serius. Tidak boleh
disia-siakan.
Semula aku tidak mudah membangun
komunikasi dengan sesama teman baru. Aku pilih beberapa saja yang terlihat
memiliki latar belakang sama. Minimal sama-sama Aceh Besar-lah. Bisa berbahasa daerah
dan penampilan tidak nyentrik. Aku kenali satu per satu dari mereka.
Ternyata tidak ada yang sama sepertiku juga. Meskipun berasal dari kampung, gaya
mereka semua hi-class; baju-sepatu bermerek, menggandeng gadget
kemana-mana. Bicaranya campur, bahasa Indonesia-Inggris.
Kadang,
aku mau complain dengan keadaan ini. Tapi aku berpikir ulang, ini bukan kesalahan mereka. Jika ada yang harus
disalahkan, itu adalah aku. Aku yang tidak membiasakan diri dengan pergaulan
seperti ini sejak dahulu di SMA. Bisa dibilang sekarang aku yang salah masuk
lingkungan.
Bukannya tidak bisa, tapi tidak biasa. Pun
Aku typical orang yang tidak ingin menyembunyikan ketidakmampuan dengan
berlagak bisa. Sehingga ujungnya malu juga. Contoh kasus; salah seorang
dari teman yang baru kukenal waktu itu. Jadi, ketika hendak menghentikan Robur
(sebutan untuk bus; alat transportasi yang lazim digunakan oleh mahasiswa), si
cewek itu teriak-teriak
“Bang,, berdiri..! berdiri..!”
Padahal
niatnya mau nyetopin bus. Secara
bahasa acehnya-kan “Deong!” untuk menghentikan kendaraan. Nah, dia terjemahkan
terus ke bahasa Indonesia. Terjemahan bebas. Semestinya "Berhenti!”. Karena kekonyolan
ini, sejadi-jadinya dia disorai sama
teman-teman waktu itu.
Aku khawatir terjadi demikian, makanya aku
jaga bicara. Seperlunya saja. Kuperhatikan baik-baik kata yang ingin kuucapkan,
agar meminimalisir salah ucapan. Makanya langkahku diawal-awal kuliah tidak
begitu gesit. Jika ada yang kurang paham, aku malu bertanya. Tidak berani
berbicara banyak di kelas, takut salah ngomong. Hasilnya, Aku hanya bisa
mengumpulkan beberapa B dan 1 A di selebaran nilai semester pertama.
Aku berazam untuk merubah diri, tidak
boleh larut terus seperti ini. Lambat laun, aku coba berdamai dengan kondisi.
Aku beradaptasi. #BeraniLebih percaya diri untuk masa depan yang lebih baik. Perlahan
aku bisa melebur dengan gaya mereka. Berlama-lama di pustaka, makan-makan
dikantin, nongkrong di depan kampus. Aku menghindari komunikasi dengan bahasa
daerah. Bahkan, dirumah aku biasakan diri juga berbicara bahasa indonesia. Abangku,
serta para tetangga sampai nyinyir, “ka jak kuliah, ka embong (sudah
kuliah, sudah sombong)” sebab bicara bahasa Indonesia segala di rumah. Tapi,
aku tidak menggubris, PD saja lagi.
Walhasil. Aku biasa meraih prestasi. 4
semester terakhir nilaiku nyaris A semua. Aku menjadi mahasiswa pertama (seangkatanku)
yang mengadakan seminar skirpsi di semester tujuh. Menyelesaikan sripsi sebulan
dan seminggu kemudian langsung bisa sidang. Aku lulus kuliah dalam rentang
waktu 3 tahun 11 bulan. Syukurlah! #BeraniLebih percaya diri berujung berkah bertubi-tubi.
Facebook: Aini Aziz Beumeutuwah
Twiter : @ainiazizbm
Tulisan ini diikutkan dalam Kompetisi Tulisan Pendek #BeraniLebih
Wow...aini sangat inspiratif. Aku baru tau, ternyata Aini adalah mahasiswa berpretasi dalam bidang akademik.
BalasHapusDapat cumlaude dulu ya aini?
Thanks, Kakak!. Nyaris kak. :D
Hapuswah keren
BalasHapusWah, ternyata dibaca sama orang keren. :D
Hapuswuihh, kak aini keren kali kok..
BalasHapussatu rahasia terbongkar..haha
Jangan besar-besar suaranya, Tyna. Nantu kedengaran sama semua orang. :D
Hapus