Rumput Tetangga Tampak Lebih Hijau
Dugaan kuat, hingga saat ini aku tidak pandai menyanyi sebab dulu tak
pernah sekolah di TK. Alih-alih menyanyikan lagu sendiri, lagu tetangga pun aku
nggak hafal liriknya. Selain tidak pandai menyanyi, aku juga nggak bisa menari.
Kalau lihat teman - teman sudah dandan untuk ikut tarian, aku kadang pengen
juga. Tapi apa daya, gerakan tanganku kaku banget, pun aku memang nggak suka
dandan begituan.
Dulu aku pernah ingin masuk TK, biar seperti orang - orang. Mereka setiap
pagi dipakaikan seragam sekolahan. Setiap sebelum masuk kelas, mereka olah raga
dulu. Gerakkan tangan dan kaki, (anak zaman sekarang bahkan pinggang pun ikut digoyang, korban
tontonan tak bermutu dari televisi kali ya). Anak TK suka bawa bontot. Itu yang paling
aku doyan. TK memang menyenangkan, sekolah untuk nyanyi dan makan-makan.
Keseharian masa kecil, aku sibuk dengan Mak, mengutip telur itik di kandang.
Kadang - kadang itik nggak bertelur, akunya jadi geram sendiri. Aku gangguin ayam
mengeram, eh tahunya ada yang menetas. Ayam menetaskan anak itik. Aneh! Akhir
zaman memang aneh – aneh saja fenomena alam. Tapi kurasa itu lumrah, tidak
melanggar naluri kebinatangan, setidaknya itu tidak lebih buruk dari ayam
jantan mengawini jantan. Hmm... Kadang aku berpikir, Gay dan Lesbian semestinya
belajar banyak dari binatang.
Kembali ke masa kecil. Lain waktu, aku ikut Bapak mengembala kerbau ke padang.
Bukan Padang Pariaman, tapi padang gembala. Di daerah Blang Bintang
masih banyak lahan luas yang tidak ditanami. Karena tanahnya subur, akhirnya
rumput liar tumbuh sendiri. Mereka
menyebutnya "lahan tidur" tapi kurasa yang paling layak dibilang
tidur itu bukan lahan, tapi pemiliknya "leu teungeut"
(kebanyakan tidur). Sampai hati lahannya tidak ditanami.
Kerbauku berwarna putih. Bapak menyebutnya keubeu jagat. Umurnya
masih sangat muda, satu tahunan lah ada, waktu itu. Artinya, Aku lebih tua darinya. Iseng-iseng
aku minta diangkat ke punggung kerbau, mau menunggang, seperti anak-anak
pedalaman yang sering kutonton di TV.
Setelah menghabiskan masa bermain. Aku masuk sekolah genap usia 7 tahun.
Aku diantarkan ke Madrasah. Akhrinya berseragam juga. Madrasah Ibtidaiyah,
letaknya di pusat kecamatan. Jauh dari rumahku sekitar 2 atau 3 kilometer.
Awal-awal sekolah, aku selalu diantar sama bapak. karena masih terhitung
"anak kecil". Padahal aku ingin benget dibelikan sepeda biar
bisa mendayung sendiri seperti anak-anak yang lain.
Setelah naik kelas III. Kelasku pindah jam belajar, masuknya
siang, setelah shalat zuhur. Alasan tidak cukup ruangan, sebab rame sekali
murid. Sudah seperti sinetron saja, pindah jam tayang. Di situ lah keinginanku
terwujud. Yehe! Boleh bersekolah sendiri dengan mendayung sepeda. Hari pertama
senang banget. Hari ke-dua ke-tiga dan seterusnya barulah terasa, capek - bengek!
Tahu begini, mending diantar saja kayak dulu. Jadi ingin cepat tamat
sekolah. Pengen besar, biar bisa bawa motor sendiri.
Waktu pun berlalu. Aku lulus Madrasah
Ibtidaiyah, Lanjut Madrasah Tsanawiyah. Sudah malu naik sepeda. Aku memilih jalan kaki saja, sama teman-teman yang
lain. Pun kalau rame-rame pasti seru, enggak terasa lelahnya. Mulailah, hari
pertama dan seterusnya. Beuh! dari bongsor jadi langsing. Aku kurusan, pipi
cabi udah lenyap menyusut sendiri. Lemak berganti menjadi keringat dan energi.
Naik kelas dua, aku minta dibelikan motor. Alhamdulillah, dibelikan. Aku
senangnya bukan main. Sayangnya, sepulang sekolah, aku sudah sering
main-main. Kerumah teman lah, buat
PR bersama-lah. Pokoknya jalan-jalan. Kapanyang langkah. Akhirnya kurang
belajar dan prestasi pun merosot.
Naik sepeda motor repot juga ternyata. Setiap sudah kotor, aku direpetin terus
sama Abang. Di suruh cuci. Dulu nggak ada doorsmeer sebanyak sekarang. Jadi aku
sendiri angkat air ke halaman rumah, karena motor nggak mungkin kita gerek ke
kamar mandi, kan?
Saat itu yang terpikir olehku adalah cepat lulus MTsN, biar bisa masuk SMA.
Ke SMA otomatis sudah bisa naik mobil. Ets.. labi - labi, maksudku. Bukan mobil
pribadi. Nggak repot lagi nyuci motor. Ternyata setelah masuk SMA, putih abu-abu
itu tidak menyenangkan seperti kata orang. banyak kali matapelajarannya. Belum
lagi ada praktikum, kegiatan ekskul. Baju dan sepatu harus ikut protokol (nggak
boleh inprof). Beda sama orang kuliahan. Pengen segera kuliah agaknya. Biar
bisa lebih leluasa.
Ternyata, lulus SMA itu bukan apa-apa kalau tidak lolos masuk di Perguruan
Tinggi. Ikut bimbingan belajar, beli formulir, tes sana sini. Han leuh-leuh
but (enggak selesai-selesai buat *?). Akhirnya namaku sempat juga masuk
koran. Di list calon mahasiswa yang diterima di UNSYIAH. Jiaha! Senang bukon
le.
Mulailah masuk kuliah. Tahun pertama belum lagi setengah perjalanan, aku
ingin teriak rasanya. Cepatlah selesai! Biar bisa kerja. Di sini, sudahlah
capek kita belajar, capek juga mikirin uang keluar. Iuran semester, beli alat
praktikum, biaya masuk Lab. Penelitian. Sayang Mak dan Bapak banyak kali harus
mengeluarkan belanjaan. Kan malu juga kalau ditambah lagi tadah tangan kita buat jajan.
Beruntung, cepat selesai, dan aku langsung dapat kerja. Jadi accounting
di distributor semen, perusahaan swasta di Banda Aceh. Asik juga sih, tapi saket
ule dengan angka-angka. Kita peutimang
uang orang, silap – silap uang kita yang nggak timang. Akhirnya aku resign.
Dengan harapan bisa dapat pekerjaan yang lebih ringan. Alhamdulillah, sebulan
kemudian diterima kerja di Advertising, sebagai staf administrasi. Pulang sore,
pergi pagi. Berteman akrab sama meja,
laptop, kursi dan dokumen-dokumentasi, itu-itu saja tiap hari. Kadang aku jenuh
banget. Padahal sudah senyaman ini, tapi masih saja melihat keluar, seakan di
sana masih banyak pekerjaan yang lebih baik.
Begitulah hidup, kita selalu melihat bahagia pada tempat yang kita tak di
sana. Seperti kata pepatah: ”Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau”.
Kita di permainkan oleh keinginan-keinginan pada fatamorgana. Sehingga kita
lupa menikmati pencapaian. Tapi jujur, kalau boleh di andai-andai, aku
terpikir, alangkah indahnya kalau sekarang aku adalah seorang anak yang sedang
menghabiskan waktunya bersama Bapak di padang, menangkap belalang. Atau
bersama Mak, mengutip telur itik di kandang. Nah, kan! Mulai lagi. :3
0 Response to "Rumput Tetangga Tampak Lebih Hijau"
Posting Komentar