UA-153487531-1 Sahabat, Kutinggalkan Sayang untuk Kau Kenang - Aini Aziz

Sahabat, Kutinggalkan Sayang untuk Kau Kenang

2008. Kenangan Rihlah Himateta di Beurayeun. 

Awal tahun 2007, Allah takdirkan aku lulus masuk Universitas Syiah Kuala, tepatnya di Fakultas Teknik Pertanian. Dalam senang tak senang, kutempuh saja, mungkin ini  jalan yang terbaik dari Tuhan. Pilihan masuk ke jurusan Teknik Pertanian sejatinya bukan yang kuhajatkan sejak awal, hanya karena aku tidak tahu kemana arah lain yang harus kutuju. Ingatnya, karena latar belakangku petani, mungkin ini akan lebih mudah untuk kuhadapi. 

Dari awal aku memang pesimis dengan pilihan pertama, di Fakultas Kedokteran. Itu kursi studi yang diperebutkan ribuan orang, tentu saja sangat ketat persaingannya. Ya, mungkin karena pesimis itulah penyebab utama aku tidak lulus pada pilihan pertama. Aku tidak nurut pada anjuran agama; "berbaik sangka lah kepada Allah, maka kebaikan bagimu."

Kembali lagi ke pembahasan awal. Dalam takdir yang senang tak senang itu, hari terus berganti hari dengan pertukaran siang dan malam. Hingga seminggu kemudian, aku berjumpa dengan seseorang. Rupawan sekali. Senyumnya merekah, pipi merah merona dengan lesung ringan pada kedua sisinya ketika ia tersenyum. Entah dari mana senyawa kimia berasal, aku merasa sangat sejuk menatapnya. Takjub, pandangan tak jemu. Pemilik suara yang sangat merdu itu pun akhirnya kuajak bicara. 

"Salam! Saya Aini," sapaku lebih dulu. 

"Uchi!" Balasnya, sambil menyodorkan tangan, menyambut uluran tanganku dengan senyuman. Kami pun bersalaman.

Hari-hari kemudian, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengannya. Dari Kelas, ke Kantin, ke Pustaka, hingga Mushalla. Memang banyak teman lain, tapi yang lain semua tahu, Uchi lah sahabat yang paling akrab denganku. Nyaris antara kami tak ada spasi. Aku merasa diri ini adalah dia, sehingga antara kami tidak ada rahasia. Bila aku ke kampus sendiri, yang lain akan tanya "Uchi kemana, Ai?" Begitulah kira-kira.

Persahabatan terbentuk karena adanya kesamaan visi-misi, begitulah lazimnya. Demikian pula antara aku dan Uchi. Kami menjadi sangat akrab karena sama-sama ingin menuju jalan Tuhan. Kami sama-sama berazam untuk meluruhkan kejahilan yang mencokol di akal dan pikiran. Kami ingin menuju koridor yang diridhai Allah sebagai jalan yang harus kami tempuh. Hingga kapal kehidupan ini berlabuh di dermaga-Nya, akhirat kelak. 

Awal-awal semester tiga, kami bergabung dengan kelompok pengajian di Mushalla. Semakin hari semakin bergelut dengan dakwah di kampus, hingga sempat menjadi mentor untuk mengisi kajian pengantar mata kuliah agama. Aku dan Uchi ikut mengajar -adik-adik leting- mengaji. Ada yang masih harus kita ejakan iqra' di judz amma, ada juga yang sudah fasih tajwidnya.

Aku yang berlatar pendidikan mengaji di bale beut di kampung, tak mudah menerima sesuatu yang baru dan agak janggal. Merasa ada yang mengganjal, meski hanya masalah furu' ibadah yang kuakui banyak khilafiyah, aku tetap harus waspada. Seperti kata Imam Ali (radhiallahu'anhu); "Tinggalkanlah yang membuatmu ragu," kami akhirnya berpindah alur. Uchi mengajakku bergabung dengan harakah yang ia yakini ada kebaikan yang besar di dalamnya. 

Benar! Aku merasa cukup nyaman. Di harakah ini aku menemukan diriku sebenarnya. Tata pembelajarannya yang mencerdaskan. Mengajak berpikir cemerlang (al fikru mustanir) dan membuka wawasan. Menanamkan tata cara berkepribadian luhur dengan kajian Minmuqawwimat -nafsiyah islamiyah. Hingga tiga tahun lamanya kami menggandrungi ini bersama.

Pada satu simpangan, kembali jalan pikiranku diuji. Allah menyelipkan satu kecemasan. Aku memang sulit beradaptasi dengan hal baru yang membuat ragu. Akhirnya aku mengeluhkan hal ini pada Abu. Kujelaskan runutannya. Abu adalah Ayah spiritualku. Ayah bagi ribuan santri lain di Dayah, tentunya. Almukarram selalu mampu berpikir lebih adil dan memberi saran yang bijak. Ujarnya, "ikutilah yang engkau yakin. Kita ingin menuju Allah, cukup dayung satu perahu saja, tak perlu dua, khawatirnya Aini tak akan sanggup, Nak!"

Kucerna kalimat itu berkali-kali hingga lumat. Akhirnya, aku mengambil sikap. Aku cukupkan dengan mengaji ke Dayah saja. Dengan memohon petunjuk dari Allah. Dengan keutamaan ismul a'dham asmaul husna. Semoga ini adalah pilihan yang tak salah.

Hari itu, aku mengunjungi Uchi ke rumahnya. Aku ingin memberi tahu hal ini. Aku telah siap, apapun konsekuensinya. Sebab Aku yakin Uchi pasti akan kecewa. Siang, sekitar jam tiga, aku mengetuk pintu rumahnya dengan dada sebak akibat kutahan isak. Tanganku gemetar. Uchi membukakan pintu. Aku masuk. Perlahan kubicara satu kalimat demi satu. Hingga pada akhir pembicaraan, baru aku bilang, "Ai undur diri dari harakah, Bib." Di detik itu, tangis pun pecah. Sebab kami sadar bahwa sejak saat itu tidak ada lagi waktu berkumpul untuk membariskan bacaan kitab bersama. Tidak ada saat merangkum satu bahasan untuk evaluasi durasah fikriyah bersama. Demikianlah.

Tapi satu hal yang tak berubah. Aku tetap merasa diri ini adalah dia. Antara kami tak ada rahasia. Uchi pun demikian. Persahabatan tidak terhijab oleh harakah. Tidak terpisah hanya karena pilihan jalan yang berbeda. Hingga kini, setelah genap enam tahun kami tidak bersama, rasa sayang tetap sama. Meskipun Uchi di Bogor, Aku di Aceh, jarak hanyalah angka yang terbaca. Di hati dan doa kami tak pernah ada spasi. Kami selalu menjalin komunikasi, via WA, BBM dan bicara melalui Telepon juga sesekali. 

Kemarin, saat satu-dua dilema persahabatan membuatku sebak. Aku menulis di pm BBM, begini:


Ternyata Uchi membacanya, kemudian mengutip kata-kata dan menulis kembali sebagai pm-nya. Dia mengatakan merinduiku. Rindu nasehat seperti dulu. Kami banyak sekali kesamaan. Salah satu dari yang banyak itu adalah sama-sama merindukan nasehat dari orang yang kami sayang. Kurasa bila kalian pernah menjadi sahabat yang kusayang, sering kuulangi bahkan dengan memelas "Sahabat, nasehatilah saya! Doakanlah saya!"

Percakapan berlanjut. Dia benar-benar mencemaskanku sebab pm itu. Kujelaskan bahwa aku sedang mengalami simpangan bimbang dalam persahabatan. Sebagaimana yang telah terjadi saat aku dengannya, silam. Dia menyemangatiku. Ucapnya; "Bib, Chy sayang habib karena Allah. Nanti di akhirat, bila kita tak berjumpa, tanyakan Chy pada Allah. Sebab Allah berjanji "Al-mar-u ma'a man ahabba." Aku terisak isak saat membaca kalimat itu.

Aku sadar, suatu hari nanti, Uchi akan berumah tangga. Aku pun juga. Hanya saja. Bila harakah dan jarak telah membuktikan bahwa sayang tak kan kurang, kuyakin nanti pun akan begitu juga. Persahabatan adalah produk yang tidak memiliki masa expired. Sebab sayang dalam persahabatan tak butuh pengawet. Siapa pun yang pernah kunyatakan sayang, percayalah bahwa sayang itu tak akan pernah kurang. Sama ada saat kita bersama, atau telah berbeda jarak dan ruang. Sama ada saat kita masih sendiri, atau telah menjadi telah memiliki pendamping masing-masing. Sayang tetap sama.

Oia. foto di atas itu kuambil dari DP Uchi, kemarin. Ternyata dia masih simpan sampai sekarang. Maaf, kusensor. Tentang nama panggilan, aku memanggilnya Habibaty, dia pun demikian. Kembali pada kesimpulan. Sekali kuakui sayang, selamanya akan sayang. Sayang tak kubagi tak kukurang. Tapi, kuciptakan lagi dan lagi hingga nanti ketika Tuhan memaggilku kembali pulang (meninggal), aku berharap telah cukup kutinggalkan sayang untuk dikenang.

4 Responses to "Sahabat, Kutinggalkan Sayang untuk Kau Kenang"

  1. Manis sekali tulisan ini. Kami juga mau dititpi sayang sperti itu. #uhuk.

    BalasHapus
  2. Manis sekali tulisan ini. Kami juga mau dititpi sayang sperti itu. #uhuk.

    BalasHapus
  3. Tentu saja ada sayang jua untukmu, Icha.
    :)

    BalasHapus
  4. You manage to express your thoughts very interestingly and therefore your articles find such an echo in the lives of many people who show interest in them.

    BalasHapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel