Travelog Haji “Perjalanan Spiritual Mohd Kamil”
Travelog Haji “Perjalanan Spiritual Mohd Kamil”
Setidaknya, itulah kalimat yang pertama saya baca dalam
selembar poster yang di-share oleh
Irfan Siddiq, di akun Facebook-nya. Hanya karena kata yang saya bold-kan di atas, tanpa berpikir
panjang, saya segera mengambil kesimpulan untuk hadir. Lantas, siapa Mohd Kamil
itu? Entahlah, saya sama sekali belum pernah mengenalnya. Dalam hati, semoga
dengan menghadiri acara ini, akan bertambah kerinduan saya kepada Rasulullah.
Akan semakin bersemangat untuk berupaya agar bisa ke tanah suci. Sebab itulah harapan
besar saya sekarang; menziarahi Ka’bah dan makam Sayyidina Muhammad shallu ‘alaihi wa’ala alihi wasahbihi
wasallam. Mencium batu dari surga. Merasakan beribadah di pusat dunia. Ah,
membayangkan saja sudah indah, apatah lagi kalau sudah tiba di sana. Allahu ya
Ghaniy!
Sabtu, sekira-kira pukul 01.45 WIB, saya tiba di ruang Aula
lantai I Perpustakaan Unsyiah. Acara nyaris mulai. Saya bergegas mengambil
posisi, semula pada bangku paling belakang. Saat pemateri membuka dengan sebuah
video tentangnya, cukup menarik, hingga saya terseret untuk maju, memilih
posisi lebih dekat ke depan.
Meskipun Prof. Kamil berbicara dengan bahasa Melayu,
Alhamdulillah saya tidak kesulitan memahami penyampaiannya. Kita serumpun,
meskipun ada yang berbeda, namun masih mudah menghubungkan maksudnya. Apalagi
saya penggemar film Melayu, jadi sudah terbiasa dengan bahasa mereka.
Baiklah, kita kembali ke tema. Prof. Kamil mengeluarkan
sebuah bukunya yang berjudul “Hadiah Buat Anak.” Buku dengan cover warna kuning
itu berkisah tentang perjalanan hidupnya, baik dari segi pendidikan, cinta,
keluarga dan bepergian keluar negara. Beliau mengatakan bahwa setiap pencapaian
tidak lepas dari doa orang-orang sekitar. Doa ibu dan ayah, doa sahabat, doa
orang yang menyayangi kita. Hal sederhana sekalipun mampu membangun keakraban.
Semisal keberadaan menu nasi goreng di keluarga mereka.
Setiap Ibu memiliki racikan tersendiri yang berbeda, cita
rasanya pun berbeda. Istrinya menyadari bahwa nasi goreng mertua lebih sedap
dari pada masakannya, hingga ia minta diajarkan memasak nasi goreng pada mertua.
Bukankah ini hal sederhana? Namun, kesederhanaan itu memupuk cinta di antara
mereka. Hubungan menantu dengan mertua menjadi lebih rapat.
Tambahnya lagi, tentang suatu ketika, anak mereka yang sedang
berada di Sudan menghubungi istri Prof Kamil, karena rindu masakan nasi goreng
Ibunya. Anak itu minta diajarkan cara memasak nasi goreng seperti mana biasa Ibunya
masak di rumah. Sederhana sekali bukan? Hanya nasi goreng. Tapi nasi goreng itu
telah menambat hati anak, untuk selalu merindui orangtuanya. Hmm.. Mendengar
kisah itu, saya mengangguk-angguk serius. Setuju, dan semakin selesa (merasa nyaman)
dengan seminar dari Prof. Kamil. Beliau
menulis itu dalam bukunya. Pasti ingin baca, kan? Iya. Saya juga sangat ingin.
Lanjut, kemudian beliau menunjukkan satu slide, dua buah buku. Sisi paling tepi, gambar buku dengan ukuran
lebih kecil. Judulnya “Kandil di Kaki Gunung.” Buku ini merupakan karya tulis
seorang dengan latar belakang masa lalunya adalah anak kampung yang
memprihatinkan. Ia hidup pada masa di mana listrik belum lagi menjamah kampung
mereka. Bahkan waktu itu televisi pun tak ada.
Suatu ketika, tetangganya yang memiliki kemampuan lebih dari rata-rata,
mereka menonton video perjalanan keluar negeri, dari perangkat elektronik yang
dihidupkan dengan daya generator (genset) yang dimiliki keluarganya. Anak itu
ikut menonton. Betapa takjubnya ia, sehingga sejak saat itu ia ingin sekali
dapat bepergian keluar negara.
Prof. Kamil melanjutkan kisah latar belakang penulis. Anak
kecil itu, keesokan harinya, di sekolah ketika ditanya oleh gurunya tentang
cita-cita, ia mengatakan, “Cita-cita saya nak jalan-jalan keluar negara,
Cikgu!” Kemudian gurunya menerangkan “Jika nak keluar negara, engkau harus
pandai.” Anak itu heran, kenapa kalau keluar negara syaratnya harus pandai. Ia
bertanya kembali kepada gurunya pasal itu. Gurunya berujar, “bagi orang miskin,
cara satu-satunya untuk dapat pergi keluar negara adalah dengan pandai. Bila
pandai, maka pihak Kerajaan akan memberikan beasiswa untuk belajar keluar negara.”
Sadar bahwa kepandaiannya tak seberapa. Anak itu kemudian
pulang dengan semangat yang tak surut. Ia bermunajat pada Rabb agar bisa
menjadi orang pandai. Jika pun tak jadi pandai, semoga dia dipertemukan dengan
jodoh (suami) yang pandai. Makbul! Siapa sangka, setelah belasan tahun kemudian
ia menikah dengan seorang yang kini telah membawanya lebih dari dua puluh
negara. Beruntungnya perempuan itu dibawa hadir ke tengah-tengah kami. Prof Kamil
menunjukkannya kepada kami. Perempuan cantik berbalut jubah hitam dan kerudung
hitam pula, wajah putih cerah dengan senyum manisnya. Ia adalah Puan Roza
Roslan.
“Lalu, siapakah suaminya yang pandai itu?” Ucap Prof. Kamil sambil
terkekeh berpaling badan ke arah layar. Para hadirin tertawa ringan, saya
pastikan semua sudah mengambil kesimpulan Puan Roza adalah istrinya. Amazing
banget, kan? Nah, buku Kendil itu berkisah tentang hal-hal yang telah dilalui
oleh Puan Roza dari masa kecilnya. Buku yang menggambarkan tentang doa yang
makbul meski diucapkan dalam bahasa kesehariannya, bukan bahasa Arab. Puan Roza
menuliskan pandangan hidup yang dilaluinya dari sudut penghambaan diri kepada
Tuhan. Mengisi kehidupan dengan persiapan menuju destinasi abadi (akhirat).
Saya berharap bisa melahap buku ini juga.
Lalu, masih pada slide
yang sama, di sisinya sebuah buku dengan ukuran gambar yang lebih besar, di sana
tertulis judul sebagaimana kata yang yang telah mengeheret saya untuk hadir di
acara ini. Prof Kamil berkisah tentang pengalaman titik balik hidupnya.
Tahun 2006 adalah saat penuh haru yang tak akan pernah bisa dilupakan. Saat itu
beliau mengajukan permohonan pengangkatan Prof di Universitas tempat beliau
bekerja. Segala syarat terpenuhi kecuali satu hal. Umumnya, tidak ada yang
menjadi Profesor pada usia di bawah 40 tahun. Prof. Kamil bercerita pada istrinya,
penuh harap-harap cemas. Puan Roza menyadarkannya bahwa kita tidak perlu cemas,
apa pun yang kita inginkan, mintalah pada Allah. Allah maha pemberi segala
permintaan.
Malam itu, Prof. Kamil bangun untuk qiyamul lail, ia bermunajat pada Rabb agar lulus. Ternyata, atas qadha-Nya, dari 300-an lebih yang
mengajukan permohonan, Prof. Kamil termasuk dalam 13 orang yang dinyatakan
lulus. Betapa bersyukurnya beliau. Sadar bahwa Allah telah memberi banyak hal
untuk dirinya, Prof. Kamil kemudian benar-benar tergugah untuk naik haji.
Sepulang dari tanah suci, beliau bercakap-cakap kepada Puan Roza, tentang nikmat yang telah Allah beri. Prof. Kamil bersyukur bahwa Allah telah mengabulkan doanya. Puan Roza pun mengakui sangat bahagia. Akhirnya Allah telah mengabulkan doanya. Sudah semenjak 6 tahun belakangan, tiap malam Puna Roza berdoa agar Allah melembutkan hati suaminya agar mau naik haji. Mendengar pengakuan itu, Prof benar-benar terperangah. Di balik kesuksesan kita, ternyata ada sejurus doa-doa rahasia dari orang yang menyayangi kita, tapi kita kerap tidak menyadarinya. Semua kisah menakjubkan itu telah diabadikan dalam bukunya. Hmm.. Saya benar-benar juga harus membaca buku yang satu ini.
Sepulang dari tanah suci, beliau bercakap-cakap kepada Puan Roza, tentang nikmat yang telah Allah beri. Prof. Kamil bersyukur bahwa Allah telah mengabulkan doanya. Puan Roza pun mengakui sangat bahagia. Akhirnya Allah telah mengabulkan doanya. Sudah semenjak 6 tahun belakangan, tiap malam Puna Roza berdoa agar Allah melembutkan hati suaminya agar mau naik haji. Mendengar pengakuan itu, Prof benar-benar terperangah. Di balik kesuksesan kita, ternyata ada sejurus doa-doa rahasia dari orang yang menyayangi kita, tapi kita kerap tidak menyadarinya. Semua kisah menakjubkan itu telah diabadikan dalam bukunya. Hmm.. Saya benar-benar juga harus membaca buku yang satu ini.
Banyak lagi hal yang menarik sepanjang seminar. Mendengar
penuturan dari Prof. Kamil tentang pengalamannya selama di Madinah, bahwa
konsistensi agama tidak dipengaruh oleh di mana kita berada. Cerminan, bahkan
di Madinah pun banyak yang tidak shalat subuh berjamaah di Mesjid. Dalam
perjalanannya ke Vietnam malah beliau melihat Masjid yang bisa kita katakan
relatif makmur jama’ah shalat subuhnya, padahal kita tahu itu sama sekali bukan
neraga islam.
Satu setengah jam terlalu singkat untuk sepaket kisah
inspiratif dari seorang Prof. Kamil. Tapi apa hendak dikata, perjumpaan ini
harus berakhir. Prof. Kamil menutup seminar ini dengan menyumbangkan puluhan
buku karya tulisnya bersama Puan Roza kepada Perpustakaan Unsyiah. Kemudian,
menuju ke Mesjid Kampus untuk shalat berjamaah dan memberikan donasi juga di
sana.
Oia, nyaris lupa. Di penghujung seminar, sesi tanya Jawab.
Aula Andika yang berkesempatan mengutarakan satu pertanyaan. Singkat saja;
“Dengan segala pencapaian ini, bolehkan kami tahu, apa kebiasaan harian Anda,
Prof? Sambil tersenyum Prof. Kamil membuka rahasia suksesnya: “Saya dah berjanji untuk; shalat lima waktu di Mesjid, puasa
Nabi Daud, membaca Al- Qur’an berserta terjemahannya, merutinkan shalat malam/tahajjud.
dst”
Benar sekali, seakan prof Kamil sengaja Allah kirimkan untuk bertemu dengan kita semua agar kita segera lekas bangun dari kelalaian kita.
BalasHapusAllah Mahabaik rencana-Nya. Benar sekali, Aula. :)
HapusMasya Allah tabarakallah! Penulisan orang Aceh begitu terperinci dan menyentuh hati kami. Sungguh, ia berbekas.
BalasHapusAlhamdulillah.., Puan Roza.
HapusTidaklah ada keutamaan melainkan atas kuasa dan kehendak-Nya.
Terima kasih telah singgah di sini
MasyaAllah .. komentar anda sgt santai .. seperti saya boleh habis membaca keseluruhan buku kurang 5 minit .. semoga Allah SWT sentiasa memuliakan usaha anda .. tahniah!
BalasHapusAllahumma aamiin.. Terima kasih.. :)
Hapus