30 menit tidurku di kamar 19
Sabtu,
19 April 2014 di Desa Lubuk Gapui.
Ini adalah hari kedua inaugurasi. Jika ditanya apa arti inaugurasi, jujur Saya tidak tahu harus
menjawab apa. Bahkan sampai
sekarang Saya masih
belum tahu apa artinya. Jelasnya inaugurasi itu semacam pelatihan dasar untuk
peserta yang ingin bergabung dengan salah satu organisasi kepenulisan ternama.
Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh tepatnya.
Semestinya
Saya harus
hadir dari kemarin. Sayang sekali, karena satu dan lain hal Saya baru bisa datang hari ini. Semua perlengkapan
sudah sedia di dalam ransel, tas besar yang biasa Saya gunakan untuk bepergian dua
atau tiga hari. selayak perlengkapan mandi, perlengkapan tulis, perlengkapan
ibadah bahkan perlengkapana makan sudah selesai dikemas.
Berangkatlah
Saya diantar oleh Usnul. Dia adalah adik Saya.
Anak paling bungsu dikeluarga.
“Ayuk
Kak, supir sudah siap. Jangan lupa sediakan imbalan jasa ya, hihihi.” Katanya
sambil ketawa cecikikan.
Memang
selalu begitu. Sebenarnya
tidak ada yang harus membayar dan di bayar, ini hanya sendaan keluarga.
Begitulah kami menjalin keakraban.
Ketika
dikatakan supir, jangan bayangkan Saya diantar dengan sebuah mobil mewah,
katakanlah kijang inova, Toyota Avanza atau CRV, walaka mobil lainnya.
Tidak,
tidak. Ini jauh dari yang saudara bayangkan.
Saya diantar
dengan Honda, bukan Honda Jazz juga tentunya. Tapi Honda Supra X 125, warna
merah menyala. Jujur itu bukan warna kesukaan saya.
Berangkat
dari rumah jam 09:00 Wib. Jarak dari gampong Saya ke tempat pelatihan itu
tidak terlalu jauh. Katakanlah kurang lebih 15 menit perjalanan, mengendarai
sepeda motor dengan
kecepatan sedang. Rumah Saya di Desa Lambaed kecamatan Kuta Baro, sedang pelatihannya
di Desa Lubuk Gapui Kecamatan Ingin Jaya, Saya bisa menempuh jalan Blang Bintang
- Lambaro. Ini jalan yang paling pintas.
Setiba
di Lubuk Gapui. Saya jadi
kebingungan dengan letak balai pelatihannya. Kata panitia di balai diklat.
Sepanjang jalan di Lubuk Gapui tidak Saya temui bangunan yang bernama balai
diklat. Yang ada hanya balai Putro Phang, kondisinya sangat kumuh dan tidak terawat.
“nyan kak, nyo bit tempat pelatihan, pu
tawo teuma, bek jadeh neuikot (ini kak, seperti ini kondisi tempat
pelatihan, apa tidak lebih baik pulang saja, tidak usah ikut).” Kata Usnul
sambil menggeleng kepala. Menyaksikan kondisi gedung yang tidak layak itu.
“Sebentar, sebentar, biar
Akak hubungi dulu ketua panitianya. Mungkin kita salah tempat. Semoga ada
petunjuk.” Saya mengajaknya berdamai
dengan kondisi.
Langsung
Saya merogoh
tas selempang, mengambil hp kemudian menghubungi ketua panitia.
“Salam bang, tempatnya
dimana ya? Saya sudah
sampai Lubuk Gapui ini. Pas di dekat jembatan panjang.” Kata Saya pada pihak sebelah.
Setelah sebelumnya mendengar kata salam
darinya.
“Lurus
saja buk. Lurus saja sampai lewat jembatan itu, lurus saja dulu pokoknya. Nanti
lihat saja disebelah kanan jalan, disebelah
kanan gedungnya.” Jawab pihak sebelah.
Saya tambah bingung, diujung jembatan itu adalah persimpangan dan pasar
kecil. Saya hafal
betul daerah ini, tapi kenapa panitianya bilang disana ya, atau jangan-jangan
memang sudah dibangun balai pelatihan. Setelah beberapa bulan Saya tidak melintasi jalan
ini. Begitulah sangka-sangka terus saja membuat Saya tidak tenang.
Saya ikuti saja dulu
pernyataan ketua panitia.
Sampailah
diujung jembatan. Benar saja ternyata. Tempat ini masih seperti yang dulu.
Hanya pasar kecil. Penjual buah, penjual ikan dan kios-kios kelontong saja yang
ada. Tidak ada balai apapun namanya.
Merasa
sudah dikecewakan oleh panitia, Saya
hubungi lagi.
“Hallo
Bang. Jangan main-main lah! Saya
sudah
di jalan Banda Aceh - Medan ini.” Kata Saya kepada pihak sebelah
dengan nada kecewa.
“Jeh.
Kok mundur lagi. tadinya bukan dari situ
ya.” Jawabnya terkejut.
Ternyata
ini miss komunikasi. Beliau
kemudian menjelaskan detailnya, Saya
kembali berbalik arah, mundur lagi ke jalan yang sudah Saya lalui tadi. Setelah
lebih dari 100 meter, barulah sampai. Nama tempatnya balai BPKB. Sepagar dengan
SMA Lubuk.
“Akhirnya
sampai juga.” Kata Saya pada
Usnul sambil melepasakan lenguh nafas lega.
Usnul
kembali pulang sedang Saya
langsung
masuk menjumpai panitia.
“Bang. Ini tepat inagurasi yang diadakan FLP
kan?” Tanya Saya pada seseorang yang
sudah Saya kenal
sebelumnya.
Sebenarnya pertanyaan ini hanya bentuk sapaan saja.
Sebenarnya pertanyaan ini hanya bentuk sapaan saja.
“Bukan,
bukan.” Jawabnya ketus dan kemudian dia tertawa, Saya juga menganggap jawaban
ini adalah bentuk sendaan juga.
Saya langsung meletakkan tas
barang diluar, kemudian segera masuk keruang aula. Sedang ada penyampaian materi dari ketua Flp. Nuril
Annisa. Begitulah yang disampaikan oleh teman disamping kursi yang Saya pilih untuk duduk.
Posisinya paling belakang. Paling dekat dengan pintu masuk.
Setelah
beberapa saat, penyampaian materi
oleh Nuril pun selesai. Jam sudah menunjukan pukul 12:00 Wib. Sudah
waktunya makan siang. Semua peserta dipersilahkan untuk kembali ke kamar
masing-masing untuk istirahat. Saya
memilih
untuk bergabung dengan Icha, dia salah satu peserta yang paling Saya kenal selama tes masuk
ke FLP.
Sesampai
di kamar. Icha menjelaskan bahwa ada beberapa tugas yang harus diselesakan di
inagurasi ini:
Pertama.
Setiap peserta harus menyelesaikan membaca Alqur’an minimal satu judz.
Kedua.
Harus membaca satu buku dan kemudian menuliskan resensinya.
Ketiga.
Harus mewawancarai seorang panitia kemudian menuliskan laporan wawancaranya.
Keempat.
Harus shalat berjama’ah.
Kelima
harus bangun tengah malam untuk qiyamullail
Wow, Meuhambo.
Saya
terlambat start. Sekalipun demikian Saya tetap harus menyelesaikan ini semua.
Begitulah kata hati.
Azan
zuhur dikumandangkan. Ini pertanda sudah waktunya untuk shalat. Mulailah
kepanikan pertama. Saya tidak bawa sandal jepit untuk ke mushalla. Kondisi sepatu
tidak mungkin untuk dibasuh. Karena bahannya tidak tahan air. Sementara untuk shalat
di kamar tidur, itu sama sekali tidak membuat Saya nyaman. Akhirnya. Saya keluar,
ke kantin untuk beli sandal jepit. Setelahnya
langsung menuju ke mushalla.
Balik
ke kamar semua peserta sudah kemas-kemas. Sudah waktunya makan siang. Semua
peserta sudah diarahkan untuk kembali ke aula. Masing-masing harus bawa piring,
gelas dan sendok sendiri. Tidak membuang-buang waktu Saya pun segera menanggalkan
mukena, menggantinya dengan kerudung. Bergegas untuk bisa sama-sama ke ruang aula.
Sesampai
di aula. Makanan
sudah siap. Nasi bungkus beserta lauk dan minuman masing-masing sudah dibagikan
di atas meja. Setiap peserta dipersilahkan. Waktu untuk makan tidak lama. Hanya
lima belas menit saja. Setelahnya akan ada pemateri yang akan memberikan materi
berikutnya.
Selesai
satu materi, lanjut materi yang lain, dengan pemateri yang berbeda juga
tentunya. Jika telah sampai waktu shalat, maka istrihatat
sejenak untuk shalat dan kemudian lanjut lagi dengan pemateri yang lain, dan
materi yang berbeda juga tentunya. Sesekali untuk menghilangkan kejenuhan, para
mot mengajak peserta untuk bermain game, game ringan dan seru seruan, ada
manfaat dan nilai pelajaran tersendiri
tentunya.
Kini
hari telah menjelang sore, semua kembali ke kamar, istrirahat mandi dan shalat
magrib. Setelah makan malam dilanjutkan dengan mengikuti materi berikutnya lagi
dengan pemateri yang berbeda pula tentunya. Selasai shalat isya pun dilanjutkan
dengan materi berikunya, ini lumayan lama. Hingga jam 01:00 malam, tidak terasa. Seru
sekali materi yang disajikan. Penuh makna dan kekreatifan pematerinya pun cukup membuat
suasana tidak membosankan.
Acara
untuk malam ini akhirnya usai. ets, usai di ruang aula, bukan selesai untuk
saya. Sadarlah Saya, ada
tiga tugas utama yang belum Saya kerjakan sama sekali.
Buku untuk tugas resensi sama sekali belum Saya sentuh, tugas satu judz belum Saya baca se-ayat pun. Hasil wawancara
belum Saya tulis.
Tapi setidaknya tadi waktu jeda siang Saya telah mewawancarai
seorang panitia. Sekalipun jawaban yang diberikan sekenanya saja, tapi Saya rasa ini cukup untuk
ditulis dalam selembar kertas.
Ini
semua hanya karena terlambat
start, Saya harus
menyelesaikan ini semua, malam ini juga, deadlinennya besok pagi jam 8
setelah olahraga. O Tuhan. ini adalah keadilan yang sangat menyiksa.
Baiklah,
“mari kita selesaikan secara adat” kata Icha. Teman sekamar.
Aiza
juga belum siap semua kak.”
kata teman lainnya memberi semangat.
“Hilwa juga belum.” Nauva juga belum kak.” Masing-masing merespon keluh kesah saya.
Baik
sekali mereka. Mereka tidak membuat Saya panik. Padahal Saya tahu pasti mereka sudah
menyelesaikan sebahagian tugas.
Saya pun meraih kertas, Saya mulai dari menulis
hasil wawancara. Setidaknya ini yang paling mudah, karena Saya sudah punya hasil
wawancara tadi siang. Mulailah Saya
menulis
tentang si beliau yang Saya
wawancara
hingga kertas putih yang tadinya kosong sekarang sudah tewarnai dengan goresan tinta biru.
Jam
sudah menunjukan pukul setengah
3 pagi. Baru satu tugas yang selesai. Baiklah. Naura
sudah tertidur. Karena tugasnya sudah usai. Tinggal saya, Icha dan Aiza yang masih
melek. Mereka sedang menulis resensi dari buku yang sudah dibaca. O Tuhanku yang Maha Kuasa,
Saya tidak
tahu mau menulis apa, Saya
harus
membacanya terlebih dahulu.
Antologi
cerpen judul depannya A
girl in
lovely park. Tersusun lebih dari sepuluh judul
cerpen didalamnya. Rasanya kalulah bisa Saya ingin panggil Doraemon untuk
mengelurkan sesuatu alat canggih dari kantung ajaibnya yang dapat memindahkan isi cerpen itu ke
otak saya. Agar bisa Saya
tuliskan
resensinya. “Come on Aini , itu bahkan tidak
layak dimimpikan. Secara kamu belum bisa tidur hingga sekarang.” Kata hati Saya waktu itu.
![]() |
sampul antologi yang harus ditulis resensinya |
Saya baca satu judul paling
awal, satu judul ditengah dan
satu judul diakhir. Ceritanya hampir seragam, tentang kisah kasih anak manusia.
Cinta ibu pada anak,
cinta anak pada orang tua, dan kisah cinta remaja dua jenis yang berbeda.
“Icha
menyerah, ngantuk ini lebih berkuasa.” Begitulah kata Icha sambil
menghempaskan badan ke atas ranjang. Sejenak dia tertidur lelap. Icha sudah
menyelesaikan tugasnya. Sekarang Tinggal Saya dan Hilwa saja.
Jam menunjukan pukul empat subuh. Saya mulai menulis resensi
dari apa yang Saya baca.
Sesekali Hilwa
lelap, Saya membangunkannya
karena Saya tahu resensinya juga
belum siap. Dia
benar-benar anak
yang cerdas. Bangun dari tidur dia lanjut menulis. Ingatannya sangat baik. Akhirnya kami berdua selesai juga. Jam setengah lima.
Semua selesai. Dikamar sebelah mereka
sudah bangun untuk qiyamullai sedang saya, Saya belum tidur sama sekali.
Icha. Aiza. Nauva dan Hilwa
terlelap, dengan semua tugas selesai, sedangkan
saya
masih ada satu yang belum.
Bacaan Al qur’an belum sama sekali. Tidak mungkin Saya paksakan untuk membaca.
Tuntutan biologis tubuh harus Saya
penuhi.
Sekarang waktunya memejam.
Hanya
30 menit saja saudara saudara. Azan subuh berkumandang. Inilah tidur malam
terpendek sepanjang usia saya. Sekali lagi hanya tiga puluh menit saja.
Segera
ke kamar mandi, untuk wudhu dan bergegas ke mushalla. Pulang dari mushalla Saya langsung meraih Qur’an. Saya sengaja memilih juz ke
15. Ini adalah bacaan kegemaran. Surat al Isra
dan surat Kahfi.
Karena sering dibaca maka Saya
rasa
ini akan lebih mudah untuk Saya
selesaikan
dalam waktu segera.
Hanya
tinggal tiga lembar lagi untuk selesai satu juz. Sudah terdengar arahan dari
panitia. Semua peserta harap keluar ke lapangan untuk olahraga.
Baiklah.
Saya ikuti dulu. Tidak usah panjang bercerita tentang oleh raga disini. Karena sudah saya ceritakan di postingan judulnya “serius ni?
kalau serius kita buat.”
Sekembali
dari lapangan Saya lanjutkan
membaca sisanya. Dan Alhamdulillah selesai juga.
Singkat
cerita, selesai semua agenda di inugurasi. Tibalah pengumunan peserta yang
lulus dan yang tidak lulus.
Betapa
terkejutnya Saya.
Terkejut pertama karena ternyata usaha Hilwa tidak
sia-sia. Resensinya menyandang nilai terbaik untuk kategori resensi peserta
perempuan. Terkejut kedua kalinya adalah ternyata
ketidak ikutan Saya pada
hari pertama berdampak besar. Sekalipun Saya sudah melakukan semua
tugas yang sama sebagaimana peserta lainnya. Saya tidak terlepas dari neraca
keadilan. Keputusannya adalah Saya tidak lulus jika tidak menunaikan satu
syarat, yaitu menyerahkan satu buku untuk pustaka rumcay.
0 Response to "30 menit tidurku di kamar 19"
Posting Komentar