Cahaya Itu Saya
![]() |
ambil di gugel |
Seperti
biasanya hari Minggu adalah hari yang paling membahagiakan bagi Cahaya. Dari
dulu hingga sekarang, kebahagiaan terhadap datangnya hari minggu masih tak
berkurang. Betapa tidak, sepulang sekolah Sabtu siang, seakan tidak ada beban. Tas
pink yang bergantung di punggung yang saban hari menarik bahu kebelakang, hari
ini bisa lekang dan di hempaskan serta merta ke atas ranjang buku. tidak ada
acara mengulang pelajaran, pun jika ada pekerjaan rumah (PR) dari guru sudah
terlebih dahulu diselesaikannya di sekolah, sebelum pulang. Cahaya lebih
memilih demikian untuk menjaga keutuhan liburnya.
Minggu sepenuhnya diperuntukkan
untuk bermain dan bersenang-senang. Tidak hanya Cahaya, tapi ketiga teman
lainnya juga demikian. Ragam permainan tingkat anak kampung diselesaikan satu
persatu. Dimulai dengan bermain cato. Ini bukan catur selayak yang
dimainkan oleh orang dewasa. Ini hanya permainan sederhana dimana ada sebilah
papan yang telah diberi lunang (uruk)
dua sisinya, ukuran uruk kira-kira setengah bola diameter 4 cm. Jumlah uruk sisi kanan ada
lima dan sisi kiri juga lima, ditambah lagi masing-masing satu uruk lainnya
di sisi ujung kanan dan kiri. Setiap uruk masing-masing diisi dengan
empat biji. Ini yang sangat khas, biji yang digunakan khusus biji buah Pula
jawa yang sengaja dikumpulkan ketika musismnya berbuah.
Pemainnya dua orang, masing-masing menguasai sisi dihadapannya.
Biji yang semula telah dibagi secara merata dengan jumlah yang sama kemudian diedarkan.
Setelah menghasilkan jumlah empat lagi, maka diangkat dari uruk. Biji
ini dikumpulkan dan tolak ukur pemenang adalah yang paling banyak mengumpulkan biji
tersebut, istilah yang digunakan untuk hasil yang telah diperoleh adalah“thub”.
Dimasanya, tidak ada permainan yang canggih seperti anak-anak
sekarang, pun cahaya tinggal di perkampungan yang jauh dari sentuhan permainan
moderen. Bila sudah jenuh dengan permainan ini ganti dengan permainan laiinya.
Disesuai kesepakatan bersama teman-teman.
Hari masih belum bisa dikatakan siang, jam baru menunjukana pukul 10:00
WIB. Kali ini permainannya berikunya adalah “meu’en geutah”. Ini lebih
menantang dari sebelumnya, sebab melibatkan kerja fisik yang lebih serius.
Geutah adalah sebutan
untuk karet gelang yang telah dirangkai sedemikian rupa sehingga membentuk
seutas tali yang bisa direntangkan, panjang minimalnya katakannlah sampai empat
meter. Minimal pemainnya ada tiga orang. Satu yang memegang sisi utas kanan dan
yang satu lagi memengang sisi kiri, sedang orang ketiga adalah pemain.
Permainannya bertingkat, dimulai dari rentangan geutah
setinggi pinggang, kemudian setinggi ketiak, lanjut setinggi bahu, setinggi
telingan dan setinggi kepala. Klimaksnya adalah setinggi kepala ditambah lagi
sejengkal tangan diatasnya. Pergantian pemain dilakukan apabila si pemain tidak
mampu melompat melintasi geutah yang direntangkan oleh dua rekannya.
Permainan terus berlanjut hingga para pemaain merasa bosan. Tidak ada katagori
pemengang dalam permainan ini. Secara langsung ini bisa dikatakan lebih kepada
olahraga semata.
Matahari sudah tegak diatas kepala, menunjukkan waktu sudah
mendekati jam makan siang. Cahaya bergegas pulang dan setiap permainan kini
sudah dibubarkan. Anak-anak yang lainnya pun kembali ke rumah masing-masing.
Ini sudah peraturan baku bagi Cahaya. Mamaknya akan sangat marah bila Cahaya
kelayapan ke rumah orang disiang hari. “Bek peumale ureung chik, ‘oh leuho
wo rumoh dro yak pajuh bu, beklale bak dapu gop” begitulah pesan mamak
setiap Cahaya keluar bermain.
Lelah sekali bermain hari ini, baju dan badan sudah basah dengan keringat,
ditanggalkan bajunya dan Cahaya pun mandi. Lepas mandi makan siang dan shalat.
Sebenarnya di usianya yang baru kelas tiga Madrasah Ibtidayah Cahaya belum
paham betul apa urgensinya shalat, ia hanya ingat tata caranya, takbir, ada
rukuk, sujud, tasyahud, ada salam, ada bacaan masing –masing tentunya.
Bacaan shalat Cahaya waktu itu pun masih jauh dari kata benar,
masih dalam tahap belajar. Namun demikian Mamak selalu mengajarkan bila
mendapati cahaya melakukan kesalahan. Benar ataupun salah yang intinya Cahaya
harus tetap melakukan shalat lima waktu, jika tidak maka Mamak dan Bbapak akan
sangat marah. Konon lagi ada Abangnya yang jauh lebih garang dari kedua orang
tua. Kalau Abang tahu Cahaya tidak shalat atau tidak pergi mengaji dia tidak
segan-segan memberi hukuman. Sekalipun hukumannya ringan tapi cahaya tetap
paing takut pada Abang.
Setelah selesai rutinitas siang, hmmm,, matahari terasa masih kian
panas saja. Pun demikian, kalau hari minggu Cahaya tetap tidak betah di rumah.
Dia keluar lagi, berkumpul kerumah Uti, Anda dan Dedek. Ini ketiga sahabat
kecil yang senantiasa tak pernah terpisahkan. Dari pergi sekolah melintasi
pematang sawah dipagi hari, hingga sampai ke Madrasah dan sampai pulang
kembali, dan bahkan sampai bermain dihari minggu, mereka selalu bersama.
Semua sudah kumpul di teras rumah Dedek. Karena cuacanya panas,
maka permainan yang dipilih kali ini adalah meu’en bate. Sejumlah batu
kecil seukuran guli dikumpulkan dan dihamburkan dihadapan berbentuk lingkaran
acak-acakan. Sulit untuk mendeskripsikan permainan ini, sebab hanya dengan
melambung batu kemudian menangkap kembali sebelum jatuh ke tanah, sebelum
menangkap batu terlebih dahulu harus mengutip satu atau dua batu lain yang
bertabur dilantai. Sebagaimana meu’en bate ini yang tidak bisa
dijelaskan dimana letak serunya, begitulah, adakalanya kebahagiaan memang sulit
untuk diungkapkan dengan kalimat.
Bila matahari sudah kian teduh, Cahaya beserta teman-teman memilih
bermain sepeda. Masing-masing punya sepeda sendiri, sekalipun tidak sama bagusnya
tapi satu sama lain tidak pernah mempermasalahkan hal ini. Bersepeda
mengelilingi kampung, melintasi lorong jalan yang kondisinya masih sangat buruk.
Jalan hanya padatan kerikil saja tanpa aspal, juga banyak dijumpai lubang-lubang genangan air apabila musim
hujan. Ini tidak menjadi soal untuk anak-anak, mereka tidak berfikir tentang
kemakmuran gampong, yang penting untuk mereka adalah sekolah dan bermain saja.
Selebihnya biarlah menjadi urusan orang dewasa.
Uti, Anda dan Dedek sudah pulang terlebih dahulu, Cahaya masih
ingin bermain. Iapun akhirnya mengajak Kak Mini untuk menemaninya keliling
bersepeda. Kak Mini memang tidak punya sepeda. Cahaya tidak berkeberatan
sekalipun harus membonceng, karena sudah sepakat untuk gantian. Bila dia sudah
lelah maka Kak Mini yang akan memboncengnya. Begitulah persahabat dijalin akrab
tanpa ada yang merasa terbebani satu sama lainnya.
Lelah besepeda dan berkeliling
kampung. Cahaya pun pulang. Hari sudah mulai senja. Matahari sudah mendekati
ufuk, dan sebentar lagi laut akan mengulumnya. Pertanda terang akan berganti
menjadi gelap. Cahaya baru sadar bahwa keasikan bersepeda tadi telah
menyebabkannya lupa menunaikan shalat ‘asar. Dengan menyelinap-menyelinap
cahaya masuk kerumahnya dari pintu dapur. Sepeda telah ditinggalkannya di sisi
dinding rumah sebelah belakang. Cahaya tahu bahwa Abang masih dirumah.
“Jino hat uro baro kawo neuk?” kata Mamak yang baru saja selesai
memberi umpan itik di kandang belakang rumah. “heee,, nyo mak”. Katanya
cengengesan. Abang yang sedang duduk di tangga sebelah kanan dapur langsung
bangun. “Ho ka. ho kajak buno, ku laon bak jalan meuputa-puta lage suwe hana
go. Mendengar suara Abang yang menggelegar begitu. Cahaya benar-benar
terkejut dan langsung lari dari pandangan Mamak. Cahaya sadar betul setelah ini
akan di introgasi tentang shalat ‘asarnya. Pun cahaya berencana untuk tidak mau
mengaji malam ini, karena sudah sangat lelah seharian bermain. Bersembunyi
adalah hal yang paling aman, pikirnya yang sangat tidak bijak waktu itu. Cahaya
lari kerumah tetangga depan.
Cutkak Nu, adalah orang yang paling aman untuk meminta tempat
persembunyian. Beliau sangat penyayang dan pandai mengambil hati anak-anak.
Jika Mamak hendak pergi dan Cahaya tidak bisa dibawa ikut serta, maka Mamak
akan menitipkan Cahaya pada Cutkak Nu. Itu dapat memberinya rasa aman.
Hari sudah menjelang magrib. Selesai shalat magrib Abang datang “ho
ka ‘aini” ups,,bukan Maksudnya “ho ka Cahaya, pat i meusom? Tata Abang dengan suara
lantang. Teungoh i neuk jak sembahyang hai Adi, tajak aju gata,
leuh nyo loen antat u rumoh. Cahaya mendengar bincang Abang dengan Cutkak
Nu dari balik pintu kamar persembunyian.
Suara kendaraan terdengar berlalu meninggalkan halaman rumah. Ini tandanya
abang sudah berangkat. Abang memang tidak bermalam dirumah. Dia bersama teman remaja
lainnya menghabiskan waktu malam mereka di balai pengajian Abu Cek. Semua teman
sebayanya tidur di sana.
Cahaya pun diantar ke rumah oleh Cutkak Nu. Esok hari ketika Abang
pulang, Cahaya melihat ada yang berbeda sari sikap Abang. Seharian cahaya bicara
ini dan itu, bertanya tapi Abang tidak menjawab. Hingga seminggu berlau Abang
menutup diri dari berbicara dengan Cahaya. “Ini adalah hukuman yang setimpal
untuk cahaya yang tidak mengaji karena sibuk bermain”, begitu katanya pada
mamak.
Mulai dari kejadian itu maka rumah Cahaya menetapkan peraturan
baku. Setiap anak harus sudah pulang kerumah sebelum jam enam petang. Jika
tidak maka akan dikenankan hukuman. Peraturan itu masih terus berlaku hingga
sekarang Cahaya telah menjadi sarjana.
Didiamkan adalah seburuk buruk hukuman bagi Cahaya, dan hingga
sekarang pun cahaya masih merasakan kenangan itu, untuk mengikat kenangan dan
melawan lupa. Cahaya yang kini telah dewasa ingin menulis kisah kecilnya ini
dalam sebuah cerita singkat. Dia masuk ke kamar, meraih laptop, menekan tombol
power untuk menghidupakan. Segera saja dia klik icon Microsoft word sebagai lembar
tulis pengganti kertas. Dia mulai mengetik untuk menulis ceritanya, dimulai
dengan kalimat Seperti biasanya hari Minggu adalah hari yang paling
membahagiakan bagi Cahaya. Dari dulu hingga sekarang, kebahagiaan terhadap
datangnya hari minggu masih tak berkurang. Betapa tidak, sepulang sekolah Sabtu
siang, seakan tidak ada beban.
![]() |
hari minggu di Taman Putro Phang |
0 Response to "Cahaya Itu Saya"
Posting Komentar