UA-153487531-1 Cahaya Itu Saya - Aini Aziz

Cahaya Itu Saya

ambil di gugel


Seperti biasanya hari Minggu adalah hari yang paling membahagiakan bagi Cahaya. Dari dulu hingga sekarang, kebahagiaan terhadap datangnya hari minggu masih tak berkurang. Betapa tidak, sepulang sekolah Sabtu siang, seakan tidak ada beban. Tas pink yang bergantung di punggung yang saban hari menarik bahu kebelakang, hari ini bisa lekang dan di hempaskan serta merta ke atas ranjang buku. tidak ada acara mengulang pelajaran, pun jika ada pekerjaan rumah (PR) dari guru sudah terlebih dahulu diselesaikannya di sekolah, sebelum pulang. Cahaya lebih memilih demikian untuk menjaga keutuhan liburnya.
Minggu sepenuhnya diperuntukkan untuk bermain dan bersenang-senang. Tidak hanya Cahaya, tapi ketiga teman lainnya juga demikian. Ragam permainan tingkat anak kampung diselesaikan satu persatu. Dimulai dengan bermain cato. Ini bukan catur selayak yang dimainkan oleh orang dewasa. Ini hanya permainan sederhana dimana ada sebilah papan yang telah diberi lunang  (uruk) dua sisinya, ukuran uruk kira-kira setengah  bola diameter 4 cm. Jumlah uruk sisi kanan ada lima dan sisi kiri juga lima, ditambah lagi masing-masing satu uruk lainnya di sisi ujung kanan dan kiri. Setiap uruk masing-masing diisi dengan empat biji. Ini yang sangat khas, biji yang digunakan khusus biji buah Pula jawa yang sengaja dikumpulkan ketika musismnya berbuah.
Pemainnya dua orang, masing-masing menguasai sisi dihadapannya. Biji yang semula telah dibagi secara merata dengan jumlah yang sama kemudian diedarkan. Setelah menghasilkan jumlah empat lagi, maka diangkat dari uruk. Biji ini dikumpulkan dan tolak ukur pemenang adalah yang paling banyak mengumpulkan biji tersebut, istilah yang digunakan untuk hasil yang telah diperoleh  adalah“thub”.
Dimasanya, tidak ada permainan yang canggih seperti anak-anak sekarang, pun cahaya tinggal di perkampungan yang jauh dari sentuhan permainan moderen. Bila sudah jenuh dengan permainan ini ganti dengan permainan laiinya. Disesuai kesepakatan bersama teman-teman.
Hari masih belum bisa dikatakan siang, jam baru menunjukana pukul 10:00 WIB. Kali ini permainannya berikunya adalah “meu’en geutah”. Ini lebih menantang dari sebelumnya, sebab melibatkan kerja fisik yang lebih serius.
Geutah adalah sebutan untuk karet gelang yang telah dirangkai sedemikian rupa sehingga membentuk seutas tali yang bisa direntangkan, panjang minimalnya katakannlah sampai empat meter. Minimal pemainnya ada tiga orang. Satu yang memegang sisi utas kanan dan yang satu lagi memengang sisi kiri, sedang orang ketiga adalah pemain.
Permainannya bertingkat, dimulai dari rentangan geutah setinggi pinggang, kemudian setinggi ketiak, lanjut setinggi bahu, setinggi telingan dan setinggi kepala. Klimaksnya adalah setinggi kepala ditambah lagi sejengkal tangan diatasnya. Pergantian pemain dilakukan apabila si pemain tidak mampu melompat melintasi geutah yang direntangkan oleh dua rekannya. Permainan terus berlanjut hingga para pemaain merasa bosan. Tidak ada katagori pemengang dalam permainan ini. Secara langsung ini bisa dikatakan lebih kepada olahraga semata.
Matahari sudah tegak diatas kepala, menunjukkan waktu sudah mendekati jam makan siang. Cahaya bergegas pulang dan setiap permainan kini sudah dibubarkan. Anak-anak yang lainnya pun kembali ke rumah masing-masing. Ini sudah peraturan baku bagi Cahaya. Mamaknya akan sangat marah bila Cahaya kelayapan ke rumah orang disiang hari. “Bek peumale ureung chik, ‘oh leuho wo rumoh dro yak pajuh bu, beklale bak dapu gop” begitulah pesan mamak setiap Cahaya keluar bermain.
Lelah sekali bermain hari ini, baju dan badan sudah basah dengan keringat, ditanggalkan bajunya dan Cahaya pun mandi. Lepas mandi makan siang dan shalat. Sebenarnya di usianya yang baru kelas tiga Madrasah Ibtidayah Cahaya belum paham betul apa urgensinya shalat, ia hanya ingat tata caranya, takbir, ada rukuk, sujud, tasyahud, ada salam, ada bacaan masing –masing tentunya.
Bacaan shalat Cahaya waktu itu pun masih jauh dari kata benar, masih dalam tahap belajar. Namun demikian Mamak selalu mengajarkan bila mendapati cahaya melakukan kesalahan. Benar ataupun salah yang intinya Cahaya harus tetap melakukan shalat lima waktu, jika tidak maka Mamak dan Bbapak akan sangat marah. Konon lagi ada Abangnya yang jauh lebih garang dari kedua orang tua. Kalau Abang tahu Cahaya tidak shalat atau tidak pergi mengaji dia tidak segan-segan memberi hukuman. Sekalipun hukumannya ringan tapi cahaya tetap paing takut pada Abang.
Setelah selesai rutinitas siang, hmmm,, matahari terasa masih kian panas saja. Pun demikian, kalau hari minggu Cahaya tetap tidak betah di rumah. Dia keluar lagi, berkumpul kerumah Uti, Anda dan Dedek. Ini ketiga sahabat kecil yang senantiasa tak pernah terpisahkan. Dari pergi sekolah melintasi pematang sawah dipagi hari, hingga sampai ke Madrasah dan sampai pulang kembali, dan bahkan sampai bermain dihari minggu, mereka selalu bersama.
Semua sudah kumpul di teras rumah Dedek. Karena cuacanya panas, maka permainan yang dipilih kali ini adalah meu’en bate. Sejumlah batu kecil seukuran guli dikumpulkan dan dihamburkan dihadapan berbentuk lingkaran acak-acakan. Sulit untuk mendeskripsikan permainan ini, sebab hanya dengan melambung batu kemudian menangkap kembali sebelum jatuh ke tanah, sebelum menangkap batu terlebih dahulu harus mengutip satu atau dua batu lain yang bertabur dilantai. Sebagaimana meu’en bate ini yang tidak bisa dijelaskan dimana letak serunya, begitulah, adakalanya kebahagiaan memang sulit untuk diungkapkan dengan kalimat.
Bila matahari sudah kian teduh, Cahaya beserta teman-teman memilih bermain sepeda. Masing-masing punya sepeda sendiri, sekalipun tidak sama bagusnya tapi satu sama lain tidak pernah mempermasalahkan hal ini. Bersepeda mengelilingi kampung, melintasi lorong jalan yang kondisinya masih sangat buruk. Jalan hanya padatan kerikil saja tanpa aspal, juga banyak dijumpai  lubang-lubang genangan air apabila musim hujan. Ini tidak menjadi soal untuk anak-anak, mereka tidak berfikir tentang kemakmuran gampong, yang penting untuk mereka adalah sekolah dan bermain saja. Selebihnya biarlah menjadi urusan orang dewasa.
Uti, Anda dan Dedek sudah pulang terlebih dahulu, Cahaya masih ingin bermain. Iapun akhirnya mengajak Kak Mini untuk menemaninya keliling bersepeda. Kak Mini memang tidak punya sepeda. Cahaya tidak berkeberatan sekalipun harus membonceng, karena sudah sepakat untuk gantian. Bila dia sudah lelah maka Kak Mini yang akan memboncengnya. Begitulah persahabat dijalin akrab tanpa ada yang merasa terbebani satu sama lainnya.
Lelah besepeda  dan berkeliling kampung. Cahaya pun pulang. Hari sudah mulai senja. Matahari sudah mendekati ufuk, dan sebentar lagi laut akan mengulumnya. Pertanda terang akan berganti menjadi gelap. Cahaya baru sadar bahwa keasikan bersepeda tadi telah menyebabkannya lupa menunaikan shalat ‘asar. Dengan menyelinap-menyelinap cahaya masuk kerumahnya dari pintu dapur. Sepeda telah ditinggalkannya di sisi dinding rumah sebelah belakang. Cahaya tahu bahwa Abang masih dirumah.
Jino hat uro baro kawo neuk?” kata Mamak yang baru saja selesai memberi umpan itik di kandang belakang rumah. “heee,, nyo mak”. Katanya cengengesan. Abang yang sedang duduk di tangga sebelah kanan dapur langsung bangun. “Ho ka. ho kajak buno, ku laon bak jalan meuputa-puta lage suwe hana go. Mendengar suara Abang yang menggelegar begitu. Cahaya benar-benar terkejut dan langsung lari dari pandangan Mamak. Cahaya sadar betul setelah ini akan di introgasi tentang shalat ‘asarnya. Pun cahaya berencana untuk tidak mau mengaji malam ini, karena sudah sangat lelah seharian bermain. Bersembunyi adalah hal yang paling aman, pikirnya yang sangat tidak bijak waktu itu. Cahaya lari kerumah tetangga depan.
Cutkak Nu, adalah orang yang paling aman untuk meminta tempat persembunyian. Beliau sangat penyayang dan pandai mengambil hati anak-anak. Jika Mamak hendak pergi dan Cahaya tidak bisa dibawa ikut serta, maka Mamak akan menitipkan Cahaya pada Cutkak Nu. Itu dapat memberinya rasa aman.
Hari sudah menjelang magrib. Selesai shalat magrib Abang datang “ho ka ‘aini” ups,,bukan Maksudnya “ho ka Cahaya,  pat i meusom? Tata Abang dengan suara lantang. Teungoh i neuk jak sembahyang hai Adi, tajak aju gata, leuh nyo loen antat u rumoh. Cahaya mendengar bincang Abang dengan Cutkak Nu dari balik pintu kamar persembunyian.
Suara kendaraan terdengar berlalu meninggalkan halaman rumah. Ini tandanya abang sudah berangkat. Abang memang tidak bermalam dirumah. Dia bersama teman remaja lainnya menghabiskan waktu malam mereka di balai pengajian Abu Cek. Semua teman sebayanya tidur di sana.  
Cahaya pun diantar ke rumah oleh Cutkak Nu. Esok hari ketika Abang pulang, Cahaya melihat ada yang berbeda sari sikap Abang. Seharian cahaya bicara ini dan itu, bertanya tapi Abang tidak menjawab. Hingga seminggu berlau Abang menutup diri dari berbicara dengan Cahaya. “Ini adalah hukuman yang setimpal untuk cahaya yang tidak mengaji karena sibuk bermain”, begitu katanya pada mamak.
Mulai dari kejadian itu maka rumah Cahaya menetapkan peraturan baku. Setiap anak harus sudah pulang kerumah sebelum jam enam petang. Jika tidak maka akan dikenankan hukuman. Peraturan itu masih terus berlaku hingga sekarang Cahaya telah menjadi sarjana.
Didiamkan adalah seburuk buruk hukuman bagi Cahaya, dan hingga sekarang pun cahaya masih merasakan kenangan itu, untuk mengikat kenangan dan melawan lupa. Cahaya yang kini telah dewasa ingin menulis kisah kecilnya ini dalam sebuah cerita singkat. Dia masuk ke kamar, meraih laptop, menekan tombol power untuk menghidupakan. Segera saja dia klik icon Microsoft word sebagai lembar tulis pengganti kertas. Dia mulai mengetik untuk menulis ceritanya, dimulai dengan kalimat Seperti biasanya hari Minggu adalah hari yang paling membahagiakan bagi Cahaya. Dari dulu hingga sekarang, kebahagiaan terhadap datangnya hari minggu masih tak berkurang. Betapa tidak, sepulang sekolah Sabtu siang, seakan tidak ada beban.
hari minggu di Taman Putro Phang


0 Response to "Cahaya Itu Saya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel