Cinta Pohon Jambu
Daun jambu ini kian lebat, dahannya pasti sudah lebih kuat dan batangnya sudah cukup besar. Aku ingat terakhir kali memanjatnya bersama Amir. Dia adalah teman laki-laki paling baik ketika aku masih di Sekolah Dasar. Sekarang kami telah sama-sama dewasa. Amir lebih beruntung karena dia cerdas. Sedang aku lebih malas dari dia sehingga prestasiku buruk. Amir kuliah di Bandung, ia diterima sebagai mahasiswa salah satu universitas ternama di sana.
Aku akui dia memang layak mendapatkan itu. Selain cerdas dia juga kaya raya. Ayahnya seorang kepala dinas badan pemerintahan. Sedang ibunya seorang wanita yang sukses meniti karirnya sebagai tata boga. Tentunya untuk sekedar membiayai kuliah Amir keluar kota bukanlah hal yang rumit bagi kedua orang tuanya.
Aku masih enggan beranjak dari bawah pohon jambu yang rindang ini. Aku mencoba untuk menenggelamkan hayalku kemasa dimana aku bersamanya dapat tertawa lepas. Saling berebut jambu yang paling merah. Berlomba lomba untuk lebih dahulu memanjat.
“Amir, nanti kalau ibuku datang, jangan berisik ya! aku takut dia akan marah jika mendapatiku memanjat lagi.” Kataku pada Amir.
“Ia Mey, tentu saja. Aku juga takut kalau ketahuan ibumu. Pasti bakal diadukan lagi ke mama.” Jawab Amir disela-sela senyum indahnya.
Aku senyum sendiri membayangkan diriku gelayutan di dahan sebelah kanan, sedang Amir lebih dekat dengan batang utama. Amir memang lebih penakut dariku. Sekalipun dia laki-laki tapi aku jauh lebih lasak darinya. Mungkin inilah penyebab mama Amir sering melarang ia untuk bermain denganku. Aku diaggap memeberi pengaruh buruk.
Suatu hari mama Amir datang kerumah, entah apa yang dibicarakannya dengan ibuku. Aku sedang asik bermain di halaman, kemudian ibu datang dan menjewer kupingku begitu kuat. Aku tidak tahu atas dosa apa hukuman ini aku terima. Warna merah menyala daun telingaku menjadi saksi kebingungan. Aku menangis sejadi jadinya. Sedang Amir diseret pulang oleh mamanya.
Setelah hari itu, aku dan Amir tidak pernah lagi bermain bersama. Aku pun tidak mendapatinya di sekolah. Kabar dari teman sekelas, dia sudah pindah sekolah ke Banda. Dekat dengan kantor ayahnya. Aku tidak pernah mendapat kabar dari Amir, dia juga jarang pulang ke kampung. Rumahnya yang berseberangan dengan rumahku sering kosong tanpa penghuni. Sesekali terlihat tukang kebun menyiram bunga dan membabat rumput liar di halaman. Satu orang lagi perempuan, dia sering keluar dipagi hari untuk membuang sampah. Mungkin itu pembantu rumah tangganya.
Setelah sekian lama tidak berjumpa. Bahkan kami sudah masuk Sekolah Menengah Pertama. Aku masih memilih bersekolah di kecamanku saja. Disamping biayanya murah, aku bisa menggunakan waktu senggang untuk membantu bapakku bercocok tanam. Kami punya sepetak kebun yang lumayan luas. Di sana ditanami cabai dan timun. Ada juga sawi dan bayam. Bapakku memasarkan hasil panennya ke pasar. Dari hasil kebun itulah bapak membiayai kami sekeluarga. Termasuk biaya sekolahku dan dua adikku lainnya.
Aku tidak mendengar lagi kabar tentang Amir, entah dimana keberadaannya sekarang. Mungkin dia sudah lupa denganku setelah sekian lama kami tidak bertemu. Lulus dari sekolah menengah pertama aku meminta untuk melanjutkannya ke Sekolah Menengah Atas (SMA) di Banda saja. Ini lebih kapada persiapan pergaulanku dengan lingkungan yang lebih menantang tentunya. Menyiapkan diri untuk bisa bergaul dengan orang-orang kota. Pergaulan dan pendidikan di Banda akan memudahkan aku untuk dapat lulus masuk ke universitas nanti. Begitulah sangkaku terhadap kualitas pendidikan kota.
Aku pun akhirnya masuk di salah satu sekolah favorit di Banda. Lulus murni setelah melewati test akademik dan praktik agama, sekalipun dengan nilai terendah dari semua peserta yang lolos, ini sudah cukup membuatku bangga. Setidaknya anak kampung sepertiku dapat diterima di salah satu sekolah ternama di Banda.
Dari awal semester bahan sampai akhir semester kedua aku tidak ingin terlibat dalam aktivitas ekskul apapun. Aku ingin fokus belajar. Sebenarnya ini sangat bertolak belakang dengan pribadiku, aku adalah orang yang selalu aktif dalam kegiatan olahraga maupun kegiatan laiinnya.
Kali ini aku benar-benar ingin fokus belajar, mengejar ketinggalanku dari anak-anak Banda. Kualitas pendidikan di kampung yang rendah ditabah lagi minat belajarku yang buruk tentunya adalah masalah besar ketika aku berhadapan dengan lingkungan pendidikan di Banda. Aku harus belajar lebih giat agar kemampuanku dapat kembali sejajar dengan mereka.
Bahkan sampai kelas dua aku tetap fokus untuk belajar saja. Beberapa teman di kelasku acapkali mengajak untuk bergabung dengan grup tari mereka. Ada juga yang mengajakku untuk berlatih paskibra. Ada juga yang ingin aku menjadi bahagian dari pengurus mading sekolah. Sebagian yang lain juga memintaku bergabung bersama pengurus keaktifan mushalla sekolah.
Aku cenderung menolak. Hingga suatu hari datanglah seorang, dia seusiaku juga. Aku tahu itu karena dia juga masih kelas dua. Hanya saja minat bakat berbeda. Aku memilih bidang llmu alam (IA) sedang dia bidang ilmu sosial (IS).
“Hai kamu, teman teman bilang kamu pandai menulis, tapi kenapa kamu menolak ketika diajak bergabung dengan pengurus mading?” tanyanya tanpa basa basi terlebih dahulu.
Aku sangat tidak suka dengan sikapnya yang angkuh begitu. Baiklah, aku akui dia memang sangat mengangumkan dari penampilannya yang cool dan wajahnya yang tampan. Barangkali dia juga cukup cerdas karena yang aku tahu dia ketua OSIS baru. Aku tahu itu dari teman-teman perempuan di kelasku yang begitu tertarik untuk membicarakannya.
“Saya tidak punya banyak waktu, saya sedang sibuk.” Jawabku ketus sambil memboyong dua buah buku yang baru saja aku pinjam dari pustaka. Aku meninggalkannya begitu saja.
Siapa sangka, hari kedua dia datang lagi menjumpaiku. Masih di tempat yang sama seperti kemarin, ruangan membaca di pustaka sekolah. Kali ini dia lebih sopan, dia menyapaku dengan salam.
“Salamu’alaikum ukhty, sedang baca apa?” tanyanya santun.
Aku terfikir dalam hati, sepertinya ada hal yang penting atau dia hanya ingin menggoda goda saja. Begitulah aku yang tidak serta merta berfikir baik terhadap orang.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah, sedang baca buku.” Jawabaku dengan respon wajah biasa saja, bahkan tanpa membalas senyumnya.
“Begini ukhty, kami dari pihak pengurus OSIS meminta kesediaan ukhty untuk dapat menjadi pengurus mading sekolah, ini surat resminya.” Dia menyodoriku sebuah amplop putih yang berisi surat di dalamnya.
“Terimakasih, nanti saya baca.” Aku meresponnya acuh tak acuh.
“Baiklah ukhty, saya permisi dulu” pintanya seraya bangun dari tempat duduk yang berhadapan denganku.
“Hm” aku hanya mengangguk.
Sesampai di kelas aku sempatkan diri membaca isi surat yang diberikannya. Menakjubkan, bahasa yang digunakan begitu santun. Permintaan yang tulus. Ini membuat aku merasa sedikit bingung. Kenapa dia benar-benar ingin aku menjadi bahagian dari pengurus mading. Tapi ini memang tidak berlebihan, mungkin kerena karya tulisku pernah menang dibeberapa lomba menulis remaja. Aku memang telah banyak berubah, sekarang aku sudah jauh lebih baik dari pada masa kecil dulu.
Bagai reptil berganti sarung. Kebiaasaan buruk sudah kutinggalkan sama sekali. Aku kian giat belajar. Bahkan nyaris aku selalu menjadi juara kelas. Ini berkat dukungan dari bapak dan ibuku yang selalu memotifasiku untuk giat belajar.
Aku ingat sekali ketika ibuku berkata, “ Ibu ingin melihatmu sukses, kesuksesanmu akan sangat berbeda dari yang lainnya, sebab ibumu wanita yang buta huruf. Jika kamu berhasil dalam pendidikan, maka betapa bangganya ibu padamu.” Dia mengucapkannya dengan penuh linangan air mata.
Mengingat hal itu membuatku aku kian tenggelam dalam kenangan. Tidak ada perempuan yang lebih besar pengaruhnya bagiku selain ibu. Dia sangat penyayang dan bijaksana. Jika aku mendapati masalah, dia akan menjadi orang pertama yang memikirkan solusi untukku. Kedukaan yang paling besar bagiku adalah ketika mengantarkannya ke tempat istirahat terakhir, di bawah gundukan tanah merah yang diberi nisan, dia telah beristirahat dengan tenang.Aku mengunjunginya disana sedang dia mengunjungiku di dalam mimpi indahku.
Matahari kian panas dan aku masih dibawah pohon jambu yang rindang ini. Memahat kembali rindu satu demi satu. Ingatan tentang surat yang aku terima dari OSIS. aku menerima tawaran mereka, dengan syarat bahwa aku akan bergabung setelah ujian kenaikan kelas.
Hari-hari bersama pengurus mading memang sangat menyenangkan. Mereka santun dan baik. Suasana keakraban membuatku sangat nyaman. Termasuk Rijal, Ketua OSIS yang dahulunya kuacuhkan, aku bahkan sangat tidak tertarik membahas tentangnya. Ternyata dia sangat baik dan cerdas.
Mendekati akhir semester diadakan pergantian pengurus, mengingat aku harus mempersiapkan diri untuk ujian akhir, aku memilih untuk tidak terlibat lagi dalam kepengurusan mading. adik adik dari kelas dua lainnya bisa menggantikan tugas sebagai pengurus baru.
Ujian Nasional (UN) selesai sudah, aku lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Ditambah lagi mengantongi selembar undangan masuk universitas ternama di Banda. Usahaku tidak sia-sia. Setidaknya sampai tahap ini aku sudah membuat ibu bangga karena bisa masuk universitas.
Teman sekolah sudah menemukan pilihan masing-masing. Kebanyakan dari mereka melanjutkan kuliah, ada juga yang langsung terjun ke dunia kerja. Aku menghabiskan waktu yang tidak terlalu lama di lingkungan kampus. Hanya tiga tahun sebelas bulan saja aku telah menyelesaikan studi s1 (strata 1).
Gulungan selembar ijazah sarjana teknik cukup menjadi saksi kesuksesan seorang anak dari ibu yang buta huruf. Sekalipun ia telah tiada tapi aku yakin, diseberang sana dia tersenyum menyaksikanku.
“Mey, ayuh berangkat! anak-anak sudah tidak sabar mau melihat pantai.” Kata Amir sambil menepuk pundakku dari belakang. Aku membalasnya dengan senyum.
Amir kini telah menjadi bapak dari anak-anakku. Dia adalah Rijal si ketua OSIS. Aku benar-benar tidak menyangka, Amirur Rijal Irsyadi adalah nama lengkapnya yang tertera di surat yang kuterima. Nama orang yang selalu kuacuhkan kehadirannya. Ternyata dia masih mengingatku sedang aku melupakannya sama sekali.
Kami menikah setelah sama-sama menyelasaikan kuliah. Dia memperkenalkan dirinya padaku setelah sekian lama aku tidak menyadari Amirku adalah Rijal. Setelah dua bulan di Bandung dia menghubungiku via telpon. Waktu itu barulah dia bercerita banyak tentang kenangannya bersamaku. Aku begitu kagum dengan caranya itu. Selama tiga tahun lebih kami tidak berjumpa, hanya komunikasi via telpon dan media sosial. Setelah dia kembali dari Bandung. Dia datang kerumahku bersama keluarganya untuk lamaran.
“Ayuh Pa!” aku merengkuh tangannya seraya bangun dari tempat dudukku. Kicauan burung diatas dahan jambu sana sangat indah. Seindah lamunanku pada masa lalu. Aku yakin bahkan burung pun tidak akan punya kenangan seindah itu.
0 Response to "Cinta Pohon Jambu"
Posting Komentar