UA-153487531-1 guratan hati seorang pendosa - Aini Aziz

guratan hati seorang pendosa

Dear Cahaya.

Hari ini engkau mengulang kesalahan yang sama setelah seminggu yang lalu.
Oo.. Tunggu dulu. Apakah benar ini kesalahan. Ah, sebahagian justru menganggap ini benar.
Memang sudah begitu, kamu akan selalu berada diantara dua golongan, golongan pertama adalah teman yang selalu memuji dan golongan kedua musuh yang selalu mencaci.

Tidak...! Tidak...! Tidak bisa juga dibilang begitu. Cacian tidak serta merta sebagai indikasi permusuhan, bisa saja yang mencaci itu justru ingin memperbaiki, anggap saja seperti bunga kates yang pahit di lidah tapi baik untuk mencegahmu dari terkena diabeter, juga dapat mengobati malaria yang menjangkitimu.

Pun demikian, pujian tidak hanya bisa dikategorikan kedalam bentuk ungkapan persahabatan, justru kadang pujian itu untuk menjatuhkanmu. Seumpama kamu makan durian, lezat sekali hingga kamu menghabiskannya dalam jumlah yang banyak, ternyata apa yang terjadi? kamu justru diserang oleh penyakit, kolesterol dan asam urat misalnya.

Ah, agaknya bahasan kita sudah keluar dari tema. Baiklah, kembali ke fokus saja!

Apa sebenarnya yang membuatmu gelisah, apa yang membuat kamu ingin menumpah ruahkan kata di helaian blog sederhanamu ini,?


Apa...? jangan katakan bahwa kamu lupa tentang apa yang ingin kamu sampaikan!
Baiklah...! aku akan mengingatkanmu.
Jadi begini. hari ini kamu meng-update status di akun facebookmu. Bahasanya begini


sepulang dari minum kopi di warung, temanku cerita,
"Tau Aini, hari ini koup lucu. Ada orang nyalahin imam kurang paham sholat."
katanya begini
"Man, kemarin pulang dari Lambaro, aku singgah di mesjid Meulayo untuk shalat zuhur, kebetulan yang jadi imam Tgk Doen, tau gak, masa dia tidak menyaringkan bacaan Alfatihah."
Saya mau ketawa tapi rasanya tidak layak untuk ditertawakan. Entah ini kali pertama dia shalat zuhur berjamaah di mesjid. entahlah.
tapi yang pasti minggu depan dia akan menikah.

# yang begini ini akan jadi imam rumah tangga,
Allahu Rabbi,,,!!



Hanya saja yang ingin kamu sampaikan di sana bahwa; 
kadang kita cenderung terburu-buru menyalahkan orang lain, kelompok lain, hanya karena ketidakpahaman kita, apa salahnya kalau kita cari tahu terlebih dahulu tanpa menjudge buruk atau baik. Satu hal lagi Kebiasaan kita yang latah, akan istighfar dan bertahlil ketika gempa, setelahnya bahkan kita lupa.


Tapi Cahaya. Semua orang hanya membaca yang tertulis, mengecap apa yang tersaji, mereka tidak mampu masuk kemudian merogoh-rogoh isi hatimu untuk paham maksudmu seperti apa.

Tentang status itu, beberapa orang menyukai apa yang kamu sampaikan, itu terlihat dari jejak jempol yang mereka tempelkan pada statusmu itu. Beberapa yang antusias juga meninggalkan komentar, dalam bentuk dukungan, dan beberapa yang lain justru meragukan kalimat itu berasal darimu atau bukan.

Yang paling menghujam bagimu adalah gugatan bang Amir. Dia rekan kerjamu. Ketika kamu mengisahlkan hal serupa dengan apa yang kamu sampaikan di status itu, tiab-tiba dia bangun dari kursinya, katanya "Kamu harus minta maaf pada yang bersangkuta, Aini, kamu telah mengghibahnya, membicarkan keburukan orang lain, itu adalah dosa!"

Cahaya, ketika itu kamu benar-benar cemas. Bebalut kalut kamu bermuhasah, apakah benar ini salah, kamu ingin membela dirimu dari tuduhan bersalah. kamu katakan padanya. "tapi saya tidak menyebut nama fulan bin fulan atau fulanah bin fulan, bagaimana saya akan berdosa" dalihmu. 

Lantas dia kembali menghakimimu bagai seorang qadli yang membela keadilan rakyat 
"tapi ketika Aini menyampaikan itu, pastinya hati Aini tau siapa orang yang sedang Aini katakan itu kan? " tanyanya. 

"bukankah Allah tidak akan menghukum perkara hati, Bang?"  kamu kembali menyanggahnya.

Tapi dalam hatimu tetap saja diliputi oleh rasa bersalah, begitulah kamu. Betapa penyesalan menyelimuti kidung asa mu. Seharusnya kamu tidak menulis status itu dan tidak membicarakannya pada Bang Amir. Ditambah lagi dengan kalimat ending dari bang Amir yang tidak nyaman di dengar. Dia menyalahkanmu telah membagi dosa kepadanya, bersebab kamu menggibah orang lain. Dosanya karena mendengar ghibah darimu.

Bang Amir hanya diam, dan berlalu keluar dari ruang kantor.

Selanjutnya. Cahaya kamu ingatkan, sebelum kamu tunaikan shalat zuhur, seseorang menghubungimu, dia membaca status yang engkau bagikan. Dia tidak menggugatmu. Dia hanya menanyakan, adakah engkau menulisnya secara sadar. Oo..! itu jauh lebih menghujam dari sebuah gugatan. Bukankan itu pertanda bahwa ia menganggap kalimat sebagaimana dalam status itu tidak layak diucapkan olehmu.

Kamu hanya ingin mengajak para pembaca statusmu itu untuk peduli, inilah yang terjadi di dalam kehidupan sehari hari. Kamu begitu jengah dengan perang panas antar golongan, mereka sibuk menyuarakan partai A yang layak memimpin, Si B yang layak jadi presiden. Golongan C yang benar-benar mengiukuti sunnah Rasul, sedang E adalah para orang-orang bodoh yang bicaranya ngauur ngidul. Alih-alih ingin mengajak mereka berenung, justru sekarang kamu yang harus merenungi sikapmu.


Entahlah Cahaya. Aku hanya ingin mengingatkanmu. Tidak semua hal yang kau anggap baik dan benar, juga dianggap benar dan baik oleh orang yang mengecapnya.
Cahaya, saranku benamkan saja status itu kedalam recyclebeen
Tulis lagi status yang baru yang lebih mencerahkan.
ini sedikit ideku, tulis begini saja


Cahaya
Jika engkau di depan
Maka bayangan akan mengikuti wujud
Sedang,
Jika engkau di belakang
Maka wujud akan mengikuti bayangan
Sekarang
Kau ingin berada di mana?


Semoga saja tidak kontroversi dan akan membuatmu lebih tenang, tanpa merasa dikejar-kejar oleh dosa.

0 Response to "guratan hati seorang pendosa"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel