Sahabat di Negeri Jiran
Malam ini suasana langit sangat muram. Tidak banyak bintang
gemintang, kedipannya tidak begitu menghibur. Bulan pun tidak
menunjukkan keberadaannya. Aku melihat langit malam dari jendela kamar.
Benar saja, begitu gelap. Ingatku ini adalah malam pertama memasuki bulan Rajab. Tentu bulan masih bersembunyi di peraduannya. Hilal hanya akan muncul sesaat diwaktu magrib, kemudian kembali dikulum oleh ufuk. Guruku pernah bercerita mengenai munculnya hilal, ketika mereka melakukan rukyah Ramadhan lalu.
Puas menatap langit dan menikmati angin malam, aku menutup kembali jendela kamar. Sejenak kurebahkan badan untuk mengarungi malam dalam tidur. Usia malam masih begitu muda, ini baru jam setengah sembilan. Aku merasakan kantuk yang hebat. Mungkin ini karena seharian aku lelah dan belum sempat istrirahat.
Hanya beberapa menit saja Aku sudah tidak menyadari adanya cahaya lampu kamarku. Ya, tentu saja, karena Aku telah memasuki alam tidur. Jika pun ada interaksi itu hanya mimpi yang akan berakhir ketika Aku bangun.
Hanya tiga puluh menit saja Aku lena dalam heningnnya malam, tiba-tiba Aku dikejutkan oleh dering hp yang kuletakkan di atas meja di samping ranjang. Ternyata ada seseorang yang menghubungiku, dia sahabat baikku dari negeri seberang.
Dalam setengah jaga, aku bangkit dari tidur dan menerima call darinya.
“Salamu’alaikum.” Sapaku dengan suara yang masih sengau. Barangkali akan terdengar jelas bahwa Aku baru saja bangun tidur.
“Wa’alaikum salam.” Jawabnya. “Baru bangun ya? terbangun karena call dariku. Maafakan Aku karena sudah mengganggu tidurmu sahabat.” Nada bicaranya benar-benar menunjukkan keperihatinan dan sungkan.
“Ah, tidak mengapa. Ini masih terlalu awal untuk tidur. Masih jam sembilan. Pun bukan larut malam, antum sama sekali tidak mengganggu.” Aku menjawabnya santai.
Sahabatku yang satu ini memang sering menghubungiku, sekedar bertegur sapa. Bercerita dan bersenda gurau. Dia adalah pribadi baik, jujur dan berbicara apa adanya. Dia bercerita banyak tentang dirinya dan sesekali bertanya tentangku. Aku selalu berusaha menjadi pendengar yang baik. Ketika dia bercerita tentang kebaikan maka Aku memberikan pujian, ketika dia bercerita tantang hal buruk, Aku akan memberinya saran, tanpa bermaksud menggurui.
Setelah beberapa menit berlalu dalam pembicaraan.
Sahabatku bertanya
“Saudaraku, kenapa engkau mau mendengar cerita keburukanku. Apa yang membuatmu meluangkan waktu untuk mendengar celotehan dari orang yang tidak baik sepertiku.” Begitu katanya.
Aku tercengang, Aku bingung kenapa tiba-tiba dia bertanya demikian. Aku berusaha untuk memberi jawaban senyaman mungkin.
“Saudaraku. Pernahkah kau mendengar sebuah riwayat, tentang Rasul menyuapkan roti kepada seorang Yahudi tua renta disudut kota?” Tanyaku padanya.
“Aku belum pernah mendengarkan tentang hal itu.” Jawabnya.
Aku menceritakan padanya tentang Rasulullah yang saban hari mengunjungi seorang Yahudi tua renta. Yahudi tersebut sangat membenci Rasul. Dia selalu menghujat Rasul, setiap orang yang menjumpainya akan mendengar sumpah serapah terhadap Muhammad. Kondisi yahudi terebut sangat buruk, dia adalah seorang yang miskin lagi buta. Kabenciannya terhadap rasul begitu besar, sekalipun ia tidak pernah melihat Rasul.
Bahkan ketika Rasul menyuapkan roti padanya, dia juga mencaci Muhammad.
“Wahai engkau, apakah engkau mengenali Muhammad bin Abdullah, Aku sangat membencinya, dia begini, begini dan begini.” Yahudi tua itu terus terusan menghujat Rasul. Tapi apa yang Rasul lakukan, beliau hanya tersenyum sambil melanjutkan menyulang roti dengan tangannya sendiri kepada Yahudi tersebut.
Hingga tiba suatu hari, sahabat rasul Abu bakar ash-shiddiq bertanya pada Aisyah, “Wahai putriku, apakah kepribadianku sudah menyerupai kepribadian Rasulullah?”
“Iya ayah, kepribadianmu sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasul. Hanya saja ada satu hal yang masih kurang.” Jawab Aisyah.
“Apa itu, sampaikanlah nak, Aku akan melakukannya juga sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul.” pinta Abu bakar.
Kemudian Aisyah bercerita, memberitahukan ayahnya bahwa Rasul saban hari mengunjungi seorang Yahudi tua di sudut kota, menyulangkan roti untuknya.
Tidak menunggu lama kemudian Abu Bakar pun berangkat untuk menjumpai Yahudi tua tersebut. Abu bakar juga membawa roti untuknya, berusaha sebisa mungkin sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul.
Sesampainya pada Yahudi tua tersebut, dia langsung menyapa dan memberinya roti. Masih dengan keadaan yang sama, Yahudi tua tersebut menghina-hina Rasul. Mulutnya terus saja mengeluarkan hujatan.
Tiba-tiba Yahudi tua tersebut berkata, “Engkau bukan seperti laki-laki yang biasanya menyulangkanku roti, siapa engkau sebenarnya?”
Abu Bakar heran, “Bagaimana engkau tahu bahwa Aku adalah orang yang beda, sedang engkau tidak bisa melihat?” Tanya Abu bakar.
“Tentu saja Aku tahu, laki-laki yang menyulangku itu sangat lembut, roti yang sudah di suir kemudan disulangkan untukku dengan perlahan. Dia begitu baik dan sangat lembut kelakuannya.” Kata Yahudi tua itu.
Mendengar pengakuan Yahudi tersebut, Abu bakar tidak bisa menahan air mata. Abu bakar terisak-isak mengenang Rasul yang telah tiada. Begitu luhur pribadi Rasul. Dia menyulangkan roti pada orang yang menyumpah serapahinya dengan begitu santun. Sampai si Yahudi itu sendiri tidak pernah tahu bahwa yang menyulangkan roti itu adalah Muhammad yang dihujatnya.
Mendapati kondsi Abu bakar yang kalut dalam sedih mendalam. Yahudi tua itu bingung. Dia merasa ada yang aneh dengan orang yang sedang berhadapan dengannya.
“Kenapa engkau, apa yang terjadi padamu”. Tanya Yahudi itu.
Kemudaian Abu Bakar menahan tangisnya. Menenangkn hati kemudian memberi penjelasan.
“Tahukanlah olehmu wahai orang tua, laki-laki yang selama ini menyulangkan roti kepadamu dangan penuh kelembutan tangannya, Dialah Muahammad bin Abdullah, orang yang paling kau benci, yang kau hina saban hari, yang kau hujat bahkan ketika Dia menyulangkanmu roti. Dialah Rasulullah, hari ini dia telah tiada. Aku adalah sahabatnya. Aku begitu merindukannya.
Abu bakar kembali tenggelam dalam isak tangis, tak mampu membendung kerinduan kepada baginda Rasul.
Yahudi tua itu tercengang, terkejut dan kaku mulutnya tak bisa terkatup. Seakan tiba-tiba darah mengalir dingin keseluruh tubuhnya, dan kemudian tenang. Dia pun menangis sejadi-jadinya. Menyesal telah menganggap buruk orang yang selama ini berbuat baik padanya.
“Wahai engkau, sertakan Aku dalam ajaran yang dibawa oleh Muhammad, sesungguhnya mulai hari ini Aku akan menjadi orang yang mengikutinya.” Kata Yahudi tua tersebut pada Abu bakar.
Kemudian Abu bakar menuntun yahudi tersebut untuk mengucapkan kalimat syahadat. Yahudi tua itu berislam karena kebijaksanaan Rasul.
Ceriaku berakhir, kali ini Aku sudah mendominasi pembicaraan. Aku sudah bercerita panjang lebar.
Saudaraku diseberang kemudian merespon “Lantas apa hubungannya dengan pertanyaanku. Aku hanya bertanya kenapa engkau mau mendengar kisah keburukanku.” Begitu tanyanya santai.
Aku mencoba menjelaskan maksudku. Rasul bersikap begitu baik pada Yahudi, dengan harapan suatu hari Yahudi itu akan menjadi baik. Rasul di caci dan di hujat dihadapannya. Tapi beliau tetap memperlakukan Yahudi itu dengan lembut.
Sedang Aku, Aku hanya mendengar kisah seseorang saudaraku yang ingin merubah dirinya menjadi lebih baik. Aku tidak dihujat olehnya, tidak dicaci, yang Aku lakukan ini tidaklah sedebu dari apa yang dilakukan oleh Rasul.
“Yaa. Yaa, cerita ini besok jangan lupa ditulis di blog ya, katanya mengakhiri pembicaraan dengan tawa ringan.
Benar saja, begitu gelap. Ingatku ini adalah malam pertama memasuki bulan Rajab. Tentu bulan masih bersembunyi di peraduannya. Hilal hanya akan muncul sesaat diwaktu magrib, kemudian kembali dikulum oleh ufuk. Guruku pernah bercerita mengenai munculnya hilal, ketika mereka melakukan rukyah Ramadhan lalu.
Puas menatap langit dan menikmati angin malam, aku menutup kembali jendela kamar. Sejenak kurebahkan badan untuk mengarungi malam dalam tidur. Usia malam masih begitu muda, ini baru jam setengah sembilan. Aku merasakan kantuk yang hebat. Mungkin ini karena seharian aku lelah dan belum sempat istrirahat.
Hanya beberapa menit saja Aku sudah tidak menyadari adanya cahaya lampu kamarku. Ya, tentu saja, karena Aku telah memasuki alam tidur. Jika pun ada interaksi itu hanya mimpi yang akan berakhir ketika Aku bangun.
Hanya tiga puluh menit saja Aku lena dalam heningnnya malam, tiba-tiba Aku dikejutkan oleh dering hp yang kuletakkan di atas meja di samping ranjang. Ternyata ada seseorang yang menghubungiku, dia sahabat baikku dari negeri seberang.
Dalam setengah jaga, aku bangkit dari tidur dan menerima call darinya.
“Salamu’alaikum.” Sapaku dengan suara yang masih sengau. Barangkali akan terdengar jelas bahwa Aku baru saja bangun tidur.
“Wa’alaikum salam.” Jawabnya. “Baru bangun ya? terbangun karena call dariku. Maafakan Aku karena sudah mengganggu tidurmu sahabat.” Nada bicaranya benar-benar menunjukkan keperihatinan dan sungkan.
“Ah, tidak mengapa. Ini masih terlalu awal untuk tidur. Masih jam sembilan. Pun bukan larut malam, antum sama sekali tidak mengganggu.” Aku menjawabnya santai.
Sahabatku yang satu ini memang sering menghubungiku, sekedar bertegur sapa. Bercerita dan bersenda gurau. Dia adalah pribadi baik, jujur dan berbicara apa adanya. Dia bercerita banyak tentang dirinya dan sesekali bertanya tentangku. Aku selalu berusaha menjadi pendengar yang baik. Ketika dia bercerita tentang kebaikan maka Aku memberikan pujian, ketika dia bercerita tantang hal buruk, Aku akan memberinya saran, tanpa bermaksud menggurui.
Setelah beberapa menit berlalu dalam pembicaraan.
Sahabatku bertanya
“Saudaraku, kenapa engkau mau mendengar cerita keburukanku. Apa yang membuatmu meluangkan waktu untuk mendengar celotehan dari orang yang tidak baik sepertiku.” Begitu katanya.
Aku tercengang, Aku bingung kenapa tiba-tiba dia bertanya demikian. Aku berusaha untuk memberi jawaban senyaman mungkin.
“Saudaraku. Pernahkah kau mendengar sebuah riwayat, tentang Rasul menyuapkan roti kepada seorang Yahudi tua renta disudut kota?” Tanyaku padanya.
“Aku belum pernah mendengarkan tentang hal itu.” Jawabnya.
Aku menceritakan padanya tentang Rasulullah yang saban hari mengunjungi seorang Yahudi tua renta. Yahudi tersebut sangat membenci Rasul. Dia selalu menghujat Rasul, setiap orang yang menjumpainya akan mendengar sumpah serapah terhadap Muhammad. Kondisi yahudi terebut sangat buruk, dia adalah seorang yang miskin lagi buta. Kabenciannya terhadap rasul begitu besar, sekalipun ia tidak pernah melihat Rasul.
Bahkan ketika Rasul menyuapkan roti padanya, dia juga mencaci Muhammad.
“Wahai engkau, apakah engkau mengenali Muhammad bin Abdullah, Aku sangat membencinya, dia begini, begini dan begini.” Yahudi tua itu terus terusan menghujat Rasul. Tapi apa yang Rasul lakukan, beliau hanya tersenyum sambil melanjutkan menyulang roti dengan tangannya sendiri kepada Yahudi tersebut.
Hingga tiba suatu hari, sahabat rasul Abu bakar ash-shiddiq bertanya pada Aisyah, “Wahai putriku, apakah kepribadianku sudah menyerupai kepribadian Rasulullah?”
“Iya ayah, kepribadianmu sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasul. Hanya saja ada satu hal yang masih kurang.” Jawab Aisyah.
“Apa itu, sampaikanlah nak, Aku akan melakukannya juga sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul.” pinta Abu bakar.
Kemudian Aisyah bercerita, memberitahukan ayahnya bahwa Rasul saban hari mengunjungi seorang Yahudi tua di sudut kota, menyulangkan roti untuknya.
Tidak menunggu lama kemudian Abu Bakar pun berangkat untuk menjumpai Yahudi tua tersebut. Abu bakar juga membawa roti untuknya, berusaha sebisa mungkin sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul.
Sesampainya pada Yahudi tua tersebut, dia langsung menyapa dan memberinya roti. Masih dengan keadaan yang sama, Yahudi tua tersebut menghina-hina Rasul. Mulutnya terus saja mengeluarkan hujatan.
Tiba-tiba Yahudi tua tersebut berkata, “Engkau bukan seperti laki-laki yang biasanya menyulangkanku roti, siapa engkau sebenarnya?”
Abu Bakar heran, “Bagaimana engkau tahu bahwa Aku adalah orang yang beda, sedang engkau tidak bisa melihat?” Tanya Abu bakar.
“Tentu saja Aku tahu, laki-laki yang menyulangku itu sangat lembut, roti yang sudah di suir kemudan disulangkan untukku dengan perlahan. Dia begitu baik dan sangat lembut kelakuannya.” Kata Yahudi tua itu.
Mendengar pengakuan Yahudi tersebut, Abu bakar tidak bisa menahan air mata. Abu bakar terisak-isak mengenang Rasul yang telah tiada. Begitu luhur pribadi Rasul. Dia menyulangkan roti pada orang yang menyumpah serapahinya dengan begitu santun. Sampai si Yahudi itu sendiri tidak pernah tahu bahwa yang menyulangkan roti itu adalah Muhammad yang dihujatnya.
Mendapati kondsi Abu bakar yang kalut dalam sedih mendalam. Yahudi tua itu bingung. Dia merasa ada yang aneh dengan orang yang sedang berhadapan dengannya.
“Kenapa engkau, apa yang terjadi padamu”. Tanya Yahudi itu.
Kemudaian Abu Bakar menahan tangisnya. Menenangkn hati kemudian memberi penjelasan.
“Tahukanlah olehmu wahai orang tua, laki-laki yang selama ini menyulangkan roti kepadamu dangan penuh kelembutan tangannya, Dialah Muahammad bin Abdullah, orang yang paling kau benci, yang kau hina saban hari, yang kau hujat bahkan ketika Dia menyulangkanmu roti. Dialah Rasulullah, hari ini dia telah tiada. Aku adalah sahabatnya. Aku begitu merindukannya.
Abu bakar kembali tenggelam dalam isak tangis, tak mampu membendung kerinduan kepada baginda Rasul.
Yahudi tua itu tercengang, terkejut dan kaku mulutnya tak bisa terkatup. Seakan tiba-tiba darah mengalir dingin keseluruh tubuhnya, dan kemudian tenang. Dia pun menangis sejadi-jadinya. Menyesal telah menganggap buruk orang yang selama ini berbuat baik padanya.
“Wahai engkau, sertakan Aku dalam ajaran yang dibawa oleh Muhammad, sesungguhnya mulai hari ini Aku akan menjadi orang yang mengikutinya.” Kata Yahudi tua tersebut pada Abu bakar.
Kemudian Abu bakar menuntun yahudi tersebut untuk mengucapkan kalimat syahadat. Yahudi tua itu berislam karena kebijaksanaan Rasul.
Ceriaku berakhir, kali ini Aku sudah mendominasi pembicaraan. Aku sudah bercerita panjang lebar.
Saudaraku diseberang kemudian merespon “Lantas apa hubungannya dengan pertanyaanku. Aku hanya bertanya kenapa engkau mau mendengar kisah keburukanku.” Begitu tanyanya santai.
Aku mencoba menjelaskan maksudku. Rasul bersikap begitu baik pada Yahudi, dengan harapan suatu hari Yahudi itu akan menjadi baik. Rasul di caci dan di hujat dihadapannya. Tapi beliau tetap memperlakukan Yahudi itu dengan lembut.
Sedang Aku, Aku hanya mendengar kisah seseorang saudaraku yang ingin merubah dirinya menjadi lebih baik. Aku tidak dihujat olehnya, tidak dicaci, yang Aku lakukan ini tidaklah sedebu dari apa yang dilakukan oleh Rasul.
“Yaa. Yaa, cerita ini besok jangan lupa ditulis di blog ya, katanya mengakhiri pembicaraan dengan tawa ringan.
0 Response to "Sahabat di Negeri Jiran"
Posting Komentar