Acehku di mata sahabat Sulawesi
Selasa 24 April 2014 09:11WIB,
saya dapat pesan singkat melalui inbox facebook saya. Seorang teman dari
Sulawesi Selatan menanyakan perihal masyarakat aceh yang sebenarnya. Sebelumnya
saya tidak pernah menerima pertanyaan seperti ini, umumnya yang bertanya hanya
seputar keseharian saja, bagaimana cuaca, sedang musim apa, atau bagaimana
keadaan lingkungan. Tapi kali ini lumayan berat pertanyaannya. Saya rasa berat
karena ditanya pada saya yang bukan ahlinya. Mungkin kalau ditanya pada yang
paham, ini akan dianggap biasa saja.
Baiklah, berikut cuplikan pesannya
Assalamu'alaikum... ini bukan
mau berdebat ya, cuma mau konfirmasi saja.. sebelumnya saya minta maaf, kata
seorang teman yang kebetulan juga orang Aceh, dia mengatakan bahwa orang Aceh
itu sombong, egois, angkuh dan keras, beberapa orang yang lain berkata hal yang
sama, benarkah sprti itu??
Fiuh,, hmm. Saya jadi bingung mau balas
bagaimana, karena yang bilang begitu padanya justru orang aceh sendiri. Tidak
dijawab juga tidak mengubah keadaan apa-apa. Akhirnya saya mencoba memberikan
penjelasan ringan kepadanya dengan apa yang saya paham
Demikian jawaban saya yang semoga dia tidak kecewa jikapun jawaban ini keluar dari topik yang dia tanya.
**
Wa'alaikumussalam warahmatullah, Aceh
punya sebuah semboyan, "pemulia jame adat geutanyo"
(memuliakan tamu adalah adat kita), hingga simbolisnya berupa "ranup
lampuan" (sirih yang dihidangkan di dalam wadah serupa cawan). Ini
adalah tradisi kami secara turun temurun. Setiap tamu yang datang selalu
disambut dengan suka cita, wajah tersenyum. Sekalipun tidak semua bersikap
seperti itu tapi begitulah yang dianjurkan dalam adat istiadat Aceh.
Terkait mengenai Aceh “keras”, saya akui
itu, bangsa aceh adalah bangsa pejuang, yang membela dengan sepenuhnya tanah
air dan bangsa, mereka adalah para generasi dari pahlawan pahlawan perang yang
diakui sebagai prajurit tergigih di medan laga, hingga barat gentar terhadap
perlawanan rakyat aceh.
Egois? saya rasa tidak, jika pun dulu aceh
pernah menuntut untuk merdeka, itu lebih kepada menginginkan lebih diperhatikan
dan tidak didhalimi oleh pusat, tentang kekayaan Aceh yang berlimpah ruah, dikuasai
90% nya ke pusat, sedang aceh hanya menerima limbah dari eksploitasi.
Dahulu, sebelum adanya gerakan pembela yang
dituduh sebagai separatis Aceh, wilayah sudut/pelosok aceh kerap sekali terjadi
penyiksaan terhadap orang-orang yang tidak berdosa, para ulama dibunuh secara
keji, wanita diperkosa di depan keluarganya. Wajar saya Aceh membuat perlawanan
terhadap negara.
Sejatinya setiap orang menginginkan keadilan,
dan itu yang dituntut oleh rakyat aceh, dan sekarang setelah damai, semua
menjadi kondusif, aceh menyambut baik uluran tangan perdamain.
Adek, baik buruk sebuah bangsa, tidak
hanya dilihat ketika mereka marah, tapi dilihat juga atas sebab apa mereka
marah. Aceh memang keras, keras dalam peperangan, aceh juga lembut, lembut
dalam interaksinya dengan orang yang memberi mereka kelembutan.
wallahu a'lam
**
Ternyata dia menyambut baik apa yang saya sampaikan. Katanya "teringin sekali berkunjung ke Aceh, dimana hukum islam diterapkan secara seksama, rakyatnya yang patuh pada perintah Allah, kotanya yang indah, semoga saja suatu saat nanti saya diberi kemudahan oleh Allah untuk dapat berkunjung."
Di sini, saya terdiam sejenak. Apa yang akan disampaikan olehnya nanti ketika dia sampai di Aceh, menyaksikan banyak dara-dara berbaju ketat, dengan tanpa mengenakan hijab, menyaksikan kios kios tetap tidak menghentikan berjualan ketika magrib. Mudah mudahan Acehku tidak cemar oleh aib.
0 Response to "Acehku di mata sahabat Sulawesi"
Posting Komentar