Wisudamu wisudaku juga
Penghujung perjalanan
panjang seorang mahasiswa adalah sidang akhir. Di sana ditetapkan kelayakannya
untuk keluar dari rantai studi dengan gelar sarjana atau tidak lulus sama
sekali; harus mutasi. Sebagaimana keberhasilan lainnya, selesai kuliah juga diwarnai
dengan selebrasi yang menarik; yaitu wisuda.
Wisuda merupakan seremonial
yang sangat dituggu-tunggu, baik oleh mahasiswa itu sendiri maupun keluarganya.
Betapa tidak, jika selama kuliah orang tua hanya mengirim dana dan doa, maka
disaat wisuda mereka menghadirkan jiwa dan raganya, rela datang dari jauh
diseberang Seulawah sana, dari seberang Geurute juga, semua berduyun-duyun jak
u Banda (pergi ke kota.) Guna ikut merayakan keberhasilan
anaknya.
Kemarin, disela jam istirahat kerja, Aku kabur dari kantor untuk menunaikan
janjiku pada sahabatku yang wisuda. Janji bahwa Aku akan hadir di acara mereka.
Meluangkan sedikit waktu untuk memberi tahniah kepada Cut Atthahirah, Hayatul
Maulina, Nurhasanah dan Muarrif Rahmat. Mereka teman baikku di Forum Lingkar
Pena. Sekali lagi, selamat atas prestasi kalian, teman!
Sebagaimana biasanya, upacara wisuda mahasiswa Unsyiah dilaksanakan di
gedung AAC Dayan Dawood - Darussalam. Di sana Aku seperti mengulang kembali
kenangan empat tahun silam. Ketika wisudaku beriringan dengan tutup usia bapakku.
Betapa seharusnya, segulung ijazah itu pertama sekali hendak kutunjukkan kepada
orang tua. Sayangnya, Bapak sudah tidak butuh itu. Segulung ijazah tidak lebih
bertuwah dari seikat doa. Begitulah, kebutuhan pada kehidupan pertama (dunia)
beda dengan kebutuhan pada kehidupan kedua (setelah kematian).
Selebrasi wisudaku sangat sederhana. Undangan untuk wali yang hanya dihadiri
oleh Uning dan Husnul. Mereka berdua saudara perempuanku. Mak tidak bisa hadir
sebab masih menjalani ihdat Ihdat merupakan larangan keluar rumah bagi janda
yang ditinggal mati oleh suaminya. Tidak boleh berdandan dan bepergian selama
masa iddah. Ihdat hukumnya wajib, sama halnya sebagaimana kewajiban iddah.
Aku yang masih berkabung duka, tidak ingin sedikitpun terkesan ria dalam
selebrasi itu. Pakaian wisudaku seperti biasa; jubah dengan kerudung terhulur
menutupi dada, yang kemudian ditempa lagi dengan toga. Tidak ada sanggul teko
air, tak pakai maskara, tak pula bulu mata anti badai, sebab aku anti tabarruj.
Tabarruj adalah bersolek secara berlebihan. Itu hukumnya dosa bagi perempuan apabila
bertujuan untuk menarik perhatian non mahram.
Aku bahkan tidak berniat untuk mendokumentasikan selebrasi itu secara
special. Selesai acara, teman-teman lainnya sibuk dengan berfoto-foto ria. Aku
ikut bebara jepretan saja. Saat mereka hendak ke studio, aku tarik undur.
Bagiku, pulang dan menyekar kubur adalah kewajiban pertama yang harus kulakukan.
Jadi, di dinding rumahku tidak ada bingkai dokumentasi wisuda dengan sikap
gagah mengenakan toga, yang lazimnya dipajang oleh seorang sarjana. Itu satu
dari sekian banyak hal kesederhanaanku dalam hidup. Tidak muluk-muluk.
Kemarin, ada yang menarik saat menghadiri acara wisuda mahasiswa. Aku
kembali berjumpa dengan gadis-gadis penjual bunga. Profesi ini sudah pernah
kujalani dahulu, saat aku masih kuliah. Di sela-sela jam kuliah, halaqah dan
aktivitas lainnya, aku juga ikut andil dalam upaya mengumpulkan dana untuk
dakwah. Ya, dengan menjual bunga. Dulu kami pelopor budaya menghdiahkan
setangkai bunga untuk yang wisuda di Unsyiah. Aku ingat, banyak para pembeli semula
mengira free, bahkan ada yang bertanya ”untuk apa kasih bunga?” Sekarang
sudah banyak yang jualan di sana, ragam rupa warna bunganya, seperti di
kebunku, penuh dengan bunga. (Lho, ini kenapa sudah lari ke lirik lagu anak TK)
Aku bahagia menyaksikan kebahagiaan wisudawan/wati di sana. Sekalipun beberapa
dari mereka adalah calon pengangguran, mereka tetap ceria menatap masa depan.
Sama halnya seperti yang pernah kulakukan. Menikmati hari ini dengan tidak
terlalu mencemaskan masa depan. Rizki dari Allah. Lulus kuliah itu juga rizki
yang patut disyukuri. Bahkan ada orang tidak berkesempatan untuk lulus. Soal
kerja, simpel saja. Selama otak kita tidak dijajah dengan standar sukses adalah
PNS, maka ada sejuta peluang untuk kita bekerja. Tidak ada istilah pengangguran
untuk orang yang mau tetap bekerja. Sekalipun tidak memiliki pekerjaan yang
tetap, yang penting kita tetap bekerja. Kembali lagi, rezki itu dari Allah
ta'ala. Tugas kita hanyalah upaya.
Oia. Sembari menunggu kedatangan rekan terorku (Helka Pratiwi,) aku berjumpa
dengan para senior. Ada bang Muhadzir M. Salda, bang Ariel Kahhari dan bang Ferhat Mukhtar
juga di sana. Adik-adik mereka juga tengah wisuda. Kami sempat ngobrol panjang,
mengenai gonjang ganjing dunia perpolitikan tanah air, kiat-kiat menjadi jomblo
terhormat, hingga kepada nama tanaman langka. Aku baru tahu bahwa batang jenis Palmae di sebelah gedung Bank
Mandiri Cab. Darussalam itu bernama Enau.
Memalukan
sekali, sebagai sarjana teknologi pertanian, baru kemarin aku tahu nama pohon
itu dalam bahasa indonesia. Ah. Tapi itu tidak lebih memalukan dari pada
seseorang dokumenter yang tidak tahu tombol capture kamera dslr. Terlepas
dari itu semua, kemarin adalah hari bahagia. Kebahagiaan untuk kita semua.
Wisudamu wisudaku juga.
0 Response to "Wisudamu wisudaku juga"
Posting Komentar