Tilam Busuk (Tika Broek)
Senyap malamku terusik dengan
bunyi dering hand phone.
Semula kubiarkan saja, sebab ini panggilan yang tak
wajar. Dia menghubungiku tengah malam. Sangkaku mungkin salah tekan, sebab baru
tadi siang dia bicara panjang lebar denganku terkait pembangunan dayahnya.
Sebagai sesama pimpinan pondok pesantren, wajar saja kalau dia meminta
pendapatku dan aku meminta sarannya, bertukar pikiran guna mencari solusi atas
soalan yang kami hadapi. Tapi tidak tengah malam begini.
Bising kian menjadi, menguak senyap kala setiap orang lezat berkemul
selimut. Kusibak kain penutup, aku bangun dari posisi baringku. Kuraih hp,
ternyata sudah tiga panggilan, pikirku mungkin memang ada hal penting.
”Assalamu’alaikum!” Terdengar suara gugup dari seberang, agaknya
bukan gugup karena takut, suaranya nyaring dan tergesa – gesa, menunjukkan
bahwa pihak seberang sedang panik.
”Wa’alaikum salam. "Peu na
hai Tengku (ada hal apa, Tengku?)” Tanyaku padanya dengan penuh prihatin.
Dia semakin gugup, seakan mulut setengah dikatup. Seingatku, tadi siang
kami baru saja tertawa lepas, terlebih saat dia berkelakar perihalku yang baru
mempunyai dua orang anak, sedang dia sudah punya empat. Dia menertawaiku dengan
tuduhan kurang upaya, katanya begitu.
”Han ek loen theun hate (hatiku sudah tidak tahan), Abu
Brandeh! Cukop peudeh hana
bandeng sa. Zaujah lon sayang lon timang loen blo gaseh, ternyata ka dipeubut
meulanggeh ngeon agam buya ”
Terhenyak, sontak aku menjadi ikut meradang, berbalut rasa tidak percaya.
Seumur-umur aku kenal dengan istrinya, dia adalah perempuan baik yang
terhormat, dari keluarga terpandang. Tak disangka, syaithan telah membawanya
dalam lembah kelezatan dunia, dia terpedaya.
”Abu Bakoi, bek ilei neu
percaya meuseu hana neukalon nyata. Kadang haba piteunah ureung jak ba ba suna”
Kataku mencoba menenangkannya.
Dia kalap, meluap-luap emosi. Baru saja dia menyaksikan -dengan mata
kepalanya- istrinya tertangkap kering (aku menghindari kata basah)
bersama seorang supir. Mereka tengah bermalam di rumah seorang warga yang tak
dikenal oleh Abu Bakoi.
Sikap cemburu memang senantiasa harus ada. Kita tidak boleh terlalu
memberikan kepercayaan, kepada siapapun. Adakalanya musuh menjadi teman, dan
teman yang berubah menjadi musuh itu justru lebih lazim terjadi dalam
keseharian. Inilah yang terjadi pada Abu Bakoi, dia terlalu memberikan
kepercayaan, tidak pernah membiarkan curiga merasukinya ketika sang istri
meminta izin untuk bepergian.'
Abu Bakoi menghubungiku malam ini dengan membawa sebuah berita besar. Ya,
pengkhianatan. Ini sangat fatal. Ia menanyakan kepadaku sikap apa yang pantas
dilakukannya. Semata-mata untuk memantapkan pilihan yang harus ditempuh. Aku
tidak ingin berbicara banyak dalam hal ini, sebab aku tahu itu justru membuat
hatinya kian terluka. Kukatakan saja apa yang aku rasa, balasan untuk sebuah
pengkhianatan. Dia mendesakku untuk memberi tanggapan.
Kukatakan padanya ”Meuseu
pade hanjeut le loen cok keu bijeh. Sideh laju, loen peublo wakte di
blang han le loen puwo u rumoh. Meuseu manok ka diteupeu ek u dapu, leuho nyan
laju loen koh taku hana le loen preh singoh”
![]() |
Tilam busuk, dibuang saja. |
0 Response to "Tilam Busuk (Tika Broek)"
Posting Komentar