Berhenti Membeli Secara Online
Image by: se[dot]hol[dot]es |
Sekira-kira pertengahan Ramadhan lalu,
saya membeli sebuah buku dari toko buku online. Pada publikasi
yang disebarkan, ada beberapa jenis yang hendak dijual dengan list harga
masing-masing. Dari sekian banyak itu, saya tertarik pada satu buku yang saya
rasa penting untuk dibaca. Judulnya “Meretas Jalan Menuju Kebenaran”.
Deskripsinya; buku tersebut merupakan intisari dari beberapa kitab karangan Imam
Al-Ghazali. Saya berasumsi, dengan membaca buku ini, kita sudah mengetahui
gambaran dari kitab-kitab yang tentu saja isinya luar biasa. Harga bukunya pun sangat murah untuk kategori buku se-urgen
itu; hanya Rp. 40.000,-
Mulailah saya menghubungi pihak toko online
tersebut berdasarkan no hp yang tertera pada publikasi,
untuk memesan. Semula saya sudah bertanya “Ini lokasinya di Banda Aceh, kan?” Mereka
hanya meminta alamat saya, untuk pengiriman, katanya. Belakangan baru dibilang
mereka di Jakarta dan saya dikenakan biaya pengiriman sebesar Rp. 37.000,-.
Fine! Saya sama sekali tidak keberatan. Itu masih bisa dikatakan sangat murah.
Bahkan banyak buku lainnya yang kita beli di Banda Aceh dengan harga yang lebih
tinggi, sesuai konten buku.
Saya
mengirimkan bayaran, dengan hati penuh harap akan segera dikirimkan bukunya. Selang sehari, masih belum ada kabar. Saya
mengirim bukti pembayaran, sekalian menanyakan kapan kira-kira buku akan tiba.
Mereka mengatakan paling lambat tiga atau empat hari. Baiklah!
Seminggu waktu berlalu, saya diamkan saja.
Berbaik sangka. Nah, hari pertama di minggu ke dua, saya dapat sms dari
pihak pengiriman. Isinya begini.
Itu sms saya terima tengah hari,
dengan terik matahari dan kondisi bulan Ramadhan. Antum semua paham, kan? suhu
dikepala saya tentu saja tambah tinggi derajatnya kala itu. Sambil mengelus
dada, saya terima saja, mengingat sudah sangat mengidam-idamkan buku itu.
Baiklah,
sepulang dari kantor, saya sempatkan diri untuk mengambil buku ke counter
pengiriman. Setiba di sana, semua desak-desakan. Saya baru tahu ternyata pihak pengiriman membutuhkan nomor
resi dari pengirim. Akhirnya saya berinisiatif untuk menghubungi pihak toko online.
Alih-alih mendapatkan nomor resi, mereka justru mengirim saya balasan pesan
singkat yang bunyinya begini.
Hmm… pulang kepalang tanggung. Saya sudah
lelah-lelah datang. Biarlah sekali
mandi basah kuyup sekalian. Saya bergegas menghadap petugas di counter,
sembari menunjukkan sms yang saya terima. Beruntunglah petugas itu baik,
bergegas ia menuju gudang dan mengubrak-abrik barang yang telah menggunung di
sana. Setelah menanti setengah jam lamanya, finally! dapat juga paket bertuliskan
nama saya. Saya tersenyum lega,menerimanya dengan puas hati, rasa payah
terbayar sudah.
Setiba
di rumah, saya membuka bungkusannya. Demi Tuhan! Aku tidak pernah sekecewa ini. Lebih kecewa dari keadaan saat menerima
undangan nikah seorang yang kita kagumi. (lho, kok!). :D Ternyata buku yang
dikirimkan bukanlah buku yang saya pesan. Judulnya: Raudhah.. (bla bla bla, ada
lagi lanjutannya). Saking kecewanya, buku itu belum saya baca sampai sekarang. Parah,
kan?
Sebanarnya inti postingan ini bukan di
situ. Tapi di sini, hari ini. Kekecewaan itu kini terurai menjadi penyesalan.
Saat mengikiti halaqah di balai pengajian Darul Muta’allimin. Malam ini saya
nimbrung ke kelas 4, berbetulan pembahasannya tentang Bai’a (jual beli).
Kitab I’anatut Thalibin juzk ke-3 halaman 4 (cetakan Bairut kalau ingatan
saya tidak salah).
Setelah menuntaskan pembahasan kitab, saya
bertanya mengenai kejadian belanjaan saya yang berujung kecewa. Mulailah guru
menjelaskan satu persatu syarat sah jual beli. Adanya pembeli (musytari)
dan penjual (bai’) yang memenuhi syarat (berakal dan mumayyiz), barang
yang dhahir (ada di tempat) dan hak milik (tam) bagi si penjual. Dan
satu lagi yang tak kalah penting adalah ijab-qabul. Tidak sah jual beli tanpa
ijab-qabul -menurut pendapat yang kuat-. Tidak bisa menukar barang yang dibeli
bila tanpa khiyar majlis (janji pada saat bertemu pada akad tersebut). Nah, kasus saya, yang ada hanya satu syarat, yaitu pembeli dan penjual. Teranglah
bahwa jual beli saya memang tidak sah. :(
Cukup ini sebagai pelajaran seumur hidup
bagi saya. Kesan pertama berbelanja online yang tak akan saya ulangi. Lalu,
bagaimana dengan banyak orang lain di luar sana yang sudah kenyang dengan jual
beli semacam ini? Itu kembali pada pemahaman masing-masing. Barang kali mereka
sudah memahami konsep yang mereka jalani.
Wallahu a'lam...
Ya ampuuuuuuun aini.
BalasHapusbanyak kali cengkoneknya pemilik toko online itu. dari mulai gak jujur soal tempat, trus harus jemput sendiri, trus hilang resi, trus buku yang dikirim bukan buku yang diminta, jadiiiii.... kurang asem nih toko online. angek bacanya, kok bisa gitu sih
Enggak, Kak! Ogah Aini perpanjang lagi. Kita ikhlaskan sajalah. Semoga kedepan ada hal yang lebih baik. -_-
BalasHapussebuah kisah yang syarat akan pembelajaran. . .
BalasHapusSemoga bermanfaat ya, ukhty :)
Hapus