Nasionalisme adalah (...)
![]() |
Gambar by; fakta[-]nomena[dot]blogspot[dot]com |
Dua tahun terlibat
sebagai pasukan pengibar bendera pada perayaan hari kemerdekaan adalah hal tak
biasa. Saya berani mengatakan itu
istimewa. Karena, tidak semua orang berkesempatan untuk itu. Saat yang lain
hanya berdiam membentuk barisan teratur, tidak bergeming meski keringat
bercucur, hingga kosmetiknya kian luntur, kita justru menjadi sorotan mereka. Merasakan
sensasi perjuangan para pahlaman dahulu kala.
Acara inti dari perayaan 17 Agustus adalah pada 30
menit utama. Ya, saat pengibaran bendera, ditambah iringan lagu Indonesia Raya.
Mempersiapkan diri untuk tampil maksimal selama tiga puluh menit di hari H bukanlah pekerjaan yang mudah, sama
sekali tak indah. Menghabiskan waktu nyaris dua bulan untuk latihan. Bersusah
payah. Itupun setelah melewati tes, kesiapan fisik, kesehatan dan lain
sebagainya. Latihan bukan di ruang tertutup, full AC, Tidak! Tapi di
lapangan terbuka, di bawah terik sang surya.
Bisa dibayangkan. Wajah dari putih berubah
menjadi belang, sudah seperti zebra cross. Betis dari montok jadi tepos.
Jelaslah, setiap hari, minimal dua jam latihan gerak jalan. Belajar jalan di
tempat, belok kiri dan kanan, haluan kiri dan kanan, bukan formasi dan luruskan
barisan. Hmm. Melelahkan!
Lalu, dari bersusah payah itu, apa yang saya
peroleh, sebagai reward dari negara ini? Ada, banyak malah. Diantanya: Penghapusan
subsidi bahan bakar minyak. Harga bahan kebutuhan pokok menunjak. Semua kekayaan
pribadi dikenakan pajak. Plus, saya harus memikirkan bahwa hutang luar negeri
yang ditanggung oleh bangsa ini sudah semakin BENGKAK.
Apa yang salah? Kenapa reward-nya bukan
sesuatu yang positif, malah sebaliknya. Saya berpikir keras tentang hal ini.
Oh, barangkali ini sebab saya tak ikhlas saat menghormat bendera. Iya, harus
saya akui, saya tidak iklas menadah wajah sekian lama memberi tabik ke bendera
di bawah terik matahari menganga.
Lalu, kenapa juga dulu saya lakukan? Sebab
pelajaran kewarganegaraan, nasionalisme adalah menjunjung tinggi panca sila,
undang-undang dasar 1945 dan menghormati bendera. Saya mengibar bendera agar dianggap
nasionalis, terlihat gagah seperti pahlawan. Cinta tanah air.
Tak ubahnya sebagian
besar yang duduk kursi paling atas di negeri ini (meski bukan semuanya). Mereka juga sama, nasionalisme mereka
hanya lakonan. Supaya terlihat seperti pahlawan. Padahal bulsyit. Mereka
hanya mengumpulkan pundi untuk disimpan di buku tabungan pribadi. Sebagian
lagi ditelan agar perut kian bunc*t. Ini faktual, lho! Saya tidak mengada-ngada.
Coba lihat berapa banyak kasus korupsi di negeri ini. Siapa pelakunya?
Hari ini, jangan ajarkan lagi nasionalisme lakonan
pada anak-anak kita. Ajarkan mereka untuk ikhlas mencintai negeri ini. Mulai
dari hal sederhana; rajin belajar di sekolah dan tak pernah lupa mengaji.
Tanamkan nilai kejujuran agar kelak mereka tidak memegang tali estafet korupsi.
Tidak merampok negeri. Untuk kita juga demikian. Nasionalisme adalah saat kita
tidak menerobos lampu merah. Nasionalisme adalah saat kita tahu kemana
seharusnya membuang sampah. Nasionalisme adalah saat kita berupaya agar negeri
ini selalu bersih (baik konotasi maupun denotasi), meskipun di rumah kita tidak
ada bendera merah putih.
Tulisan ini adalah hadiah saya untuk Indonesia,
umurmu sudah sangat renta. Maafkan kami yang tidak pandai memupuk damai. Akhir
kata, Merdeka!
Setuju sama kakak :D
BalasHapus*Tos kita sekali, yuk! ;)
Hapus