Cacatan Malam Pertama
![]() |
Libur lebaran usai. Saatnya para pelajar
kembali ke pondok. Memang selalu begitu. Liburan Idul Adha relatif tak lama.
Hanya 15 hari, dimulai dari lima hari sebelum hari raya dan 10 hari lagi
sisanya. Silahkan puas-puasan menghirup bebasnya udara penuh polusi. Karena
saat di Dayah semua tidak akan
merasakan hal ini. Berbulan-bulan lamanya ‘terkurung’ dalam taman nan rindang
selayak ‘kebun surga.
Ini malam pertama mulai mengaji. Pintu
gerbang sudah terbuka lebar sejak tadi pagi. Sebagaimana lazimnya, setiap santri
yang baru balik ke Dayah selalu mendahulukan
jejak langkahnya ke rumah Abu, tanda ketakdhiman, memberi kabar bahwa ia telah
kembali. Beberapa diantaranya adalah santri baru. Mereka datang diantar oleh
orang tua, keluarga dan bahkan orang kampung.
Di sini, aku adalah pendatang. Datang petang
pulang pagi. Aku tidak keberatan jika tidak dianggap santri. Diterima sebagai tamu
di kelas mereka saja sudah lebih dari cukup, istimewa sekali rasanya. Tidak
semua orang memiliki kesempatan serupa.
Di sini, aku diperlakukan sangat ramah. Tidak hanya pengetahuan yang kudapati,
kasih sayang dan perlakuan kekeluargaan meraka pun cukup meliputiku.
Bebas memilih untuk belajar di kelas mana
pun, tidak dikenakan denda apa-apa dan tak harus mengikuti ujian. Kurasa itu bukan sebuah keistimewaan yang patut dibanggakan.
Aku justru malu, aku bangga seandainya aku adalah mereka. Dari pagi hingga ke
pagi mengkaji ilmu agama. Merapal hafalan-hafalan nahwu dan sharaf. Mengeja
arab gundul, baris ke baris dan hingga mampu memaknainya. Kadang, di sudut
balai-balai tua, saat mereka mengulang pelajaran, aku menatap lekat ke
lembaran-lembaran usang itu. Pandangan yang dalam, menembus lantai kayu yang
nyaris lapuk dimakan zaman. Hingga kudapi diri ini dibawah sana, awam sekali
dalam pemahaman agama.
Wajar (*semestinya bisa kukatakan kurang ajar).
Aku adalah alumnus strata satu dari perguruan tinggi. Bertahun-tahun dalam lingkungan
yang dikatakan lembaga pendidikan. Mulai sekolah dasar, sekolah menengah dan
lanjutan atas, semua kujajaki sudah. Ditambah nyaris empat tahun di
universitas. Namun dalam waktu selama itu, sedikit sekali aku diajarkan tentang
mengenal Tuhan. Hanya disibukkan dengan menghafal rumus-rumus matematika; logaritma,
kalkulus, integral, deferensial. Merangkai kata menjadi kalimat, menyusun paragraph,
hingga membuat makalah. Semua, ya, semua yang dikatakan orang sebagai
pendidikan. Hari berlalu begitu saja. Semakin hari semakin dijajah oleh keinginan dan angan-angan
duniawi. Tidak ada ketenangan jiwa. Tidak seperti yang kurasakan sekarang saat
belajar di sini.
Sejatinya pendidikan adalah yang mengajarkan
kita mengenal Tuhan. Mengajarkan tata cara penghambaan. Tidak melalaikan kita
dari menyadari diri sebai makluk yang harus tunduk pada khaliq. Menanamkan
pemahaman untuk hidup berorientasikan akhirat, bukan dunia. Menjadikan
aktivitas duniawi sebagai sarana menggapai akhirat. Mencari makna, bukan nilai.
Menjadikan agama sebagai perioritas utama.
Beruntung aku bisa bergabung dengan Tengku
Zainab Perlak, Tengku Asri Ulim, Tengku ‘Amirah
Ulee Titi, Tengku Rahmi Bireun, Tengku Fadhliati Lambro, Tengku Safrida
Lambaed, Tengku Masyitah Beurnun, Tengku Rama Kota Binjai dan semua dewan guru
terbaik di Dayah Istiqamatuddin Darul Mu’arrifah. Mereka adalah hadiah terindah
dari Allah.
Malam ini, kami tengah berkumpul di bilik
Tengku Zainab. Guna menyusun beberapa agenda menyambut tahun ajaran baru,
muharram sudah didepan mata. Sembari menyusun kabinet dan pembagian jadwal
mengajar, tiba-tiba telpon genggam (hp umum) berbunyi. Panggilan dari salah
seorang wali murid.
Rupanya, ibu itu hendak meminta perpanjangan
izin. Tengku Zainab yang bertindak sebagai ketua umum bertanya kepadanya, hal
ihwal apa yang menyebabkan demikian. Alasan yang sangat membuat hatiku tersayat
adalah; Ia harus ke sawah menemani ibunya, sebab kakaknya sudah mulai masuk
kuliah. Begitulah potret kita sekarang. Kuliah lebih utama dari mengaji. Kesan
agama adalah kesan keterbelakangan yang tidak perlu terlalu diperjuangkan,
karena santri dianggap tak punya masa depan. Ya, santri memang tak punya masa
depan jika yang dianggap masa depan itu adalah seragam kantoran dan gaji
bulanan. Tapi jauh lebih besar dari itu, santri adalah para pelajar yang
bekerja pada Allah berpakaiankan iman dan ilmu, gajinya berupa janji surga.
Bukankah Tuhan Maha Kaya?
Fresh and upgraded designs are frequently being developed, which embrace quantity of} features and extra extras. We see range in each facet, which might deliver positives for your revenue if you manage to function it skillfully. Choose a game that suits your personality and doesn't bother you extreme quantity of}. The most important thing is the 다파벳 game's pleasure, so do not rework it into an existential aim, however as an alternative use it as simple and laid-back fun.
BalasHapus