UA-153487531-1 Moral dalam Satu Sisir Pisang - Aini Aziz

Moral dalam Satu Sisir Pisang

Kakek Penjual Pisang

Pagi ini ada banyak sekali pelajaran yang dapat kutuai. Mulai dari jam 03.45 wib, sontak terjaga, aku teringat belum shalat isya karena semalam cepat tertidur, lelap sekali akibat lelah seharian. Aku pun bergegas untuk shalat. Bersyukur Allah menyayangiku dengan membangunkanku. Coba kalau tidak, sudah berdosa sekali meninggalkan shalat, kan? Alhamdulillah.

Setelah itu, sadar bahwa ada tulisan yang semestinya kuselesaikan semalam, maka  aku pun membuka laptop dan mulai mengetik. Sesekali kubaca bahan rujukan tulisanku, agar tidak salah dalam menyampaikan datanya. Temanya tentang keberadaan masjid di negara istananya para dewa. Negara di atap dunia. Apalagi kalau bukan Tibet. Baiklah, tinggalkan sejenak tentang Tibet, aku ingin cerita tentang pagiku hari ini.

Aku selesaikan tulisan sekira-kira pukul 06.30 wib, setelah disela oleh shalat subuh terlebih dahulu tentunya. Lanjut dengan sarapan pagi, mencuci beberapa potong pakaian, kemudian mandi. Biasanya aku berangkat kerja selalu sekalian dengan Husnul berangkat ke sekolah. Hari ini karena ia buru-buru, jam ngajar pagi, kubiarkan saja dia pergi lebih dulu. Ingatku, nanti aku biar diantar saja dengan kendaraan abang.

Selesai berkemas, jam sudah menunjukkan pukul 08.20 pagi. Tiba-tiba abang dihubungi oleh rekannya yang mendadak butuh bantuan. Benar-benar tidak terduga, kebutuhannya mendesak. Ya sudahlah, aku ikhlaskan saja. Aku meminta abang membantu rekannya lebih dulu, sementara aku bisa menghubungi rekan kerjaku agar dijemput.

Sejenak aku berpikir, mungkin ini sudah jalan Allah, barangkali akan ada suatu hikmah. Ada baiknya aku pergi dengan kendaraan umum saja, tanpa harus merepotkan Kak Lya (rekanku). Akhirnya aku pun berjalan dari rumah menuju jalan raya. Jaraknya kurang lebih 1 KM. Salahnya, aku tetap mengenakan high heels, sebagaimana biasanya. Semestinya bisa kuganti dengan sandal atau sepatu kets saja, kan? Aku lupa. Huft, baru setengah jalan,  rasanya perih sekali di setiap ujung jari kaki.

***
Akhirnya, tiba juga di simpang. Aku tak perlu menunggu lama, labi-labi pun tiba. Segera saja aku bergegas menuju labi-labi. Terkejutlah! Ternyata satu-satunya penumpang yang ada dalam labi-labi saat itu adalah kakek tua yang kerap kita jumpai di simpang Surabaya. Tentunya kita semua ingat, kakek renta yang berjualan dibawah kontruksi billboard itu, menjajakan pisang barangan, dagangan khas beliau.

Sepanjang perjalanan dari Lam Ateuk - Ulee Kareng kami berbincang, aku bertanya banyak hal. Kakek ini ternyata masih memiliki keluarga yang utuh. Ia sangat menikmati mencari rizki untuk keluarga, tanpa mau menadah tangan, sebab meminta-minta adalah sebuat tindakan kehinaan. Ia menceritakan tentang kebaikan  para pembeli; langganannya.

“Kadang ada pembeli, ketika ditanya harga, saya katakan: Rp 15.000,-/ sisir, mereka lantas memberi saya lembaran Rp 100.000,- dan menolak saat saya beri kembaliannya. Alhamdulillah, ini semua rezeki dari Allah.” Ujarnya.

 Tabi siploh geubalah seureutoh, janji bak Allah hana meutuka (saat kita memberikan kepada orang lain 10 maka akan mendapat balasan 100, itu janji Allah.” Imbuhnya lagi.

Kakek itu juga menyatakan, pernah suatu hari datang seorang pemudi seusiaku, ia kelelahan seharian mencari lowongan kerja di Banda Aceh, namun tidak menemukan pekerjaan. Sudah berbulan-bulan setelah sarjana ia masih menjadi pengangguran. Ia menyodorkan infak Rp 100.000,- kepada kakek tersebut, dan saat kakek memberinya pisang, ia menolak, katanya “Doakan saja kebaikan untuk saya, Kek!”

Selang dua minggu kemudian, perempuan itu datang untuk membeli pisang. Ia bersyukur dan berterimakasih sembari memberi kabar bahwa ia telah mendapat pekerjaan. “Kita hanya meminta kepada Allah dengan hati yang bersih, Allah yang memiliki dan memberi segalanya” Tambah Si kakek.

Sesekali aku berpaling, agar bening-bening dipelupuk mata ini tak kunjung jatuh. Aku terharu dengannya. Ia tegar, kuat, dan penuh semangat. Berpikir positif terhadap kehidupan. Inilah hikmah dari keputusanku untuk jalan kaki sepanjang 1 kilo meter. Lecet kaki tidak berarti dibandingkan pelajaran besar hari ini.

Kakek ini menyatakan bahwa apa yang ia peroleh adalah karunia dari Allah melalui tangan hamba-Nya. Ia tak luput bersyukur dan mendoakan kepada Allah agar para dermawan yang singgah untuk membeli dan memberinya infak agar dimudahkan rezki oleh Allah.

Dari sekian yang dia peroleh, ternyata tidak semuanya dibawa pulang untuk istri dan anaknya saja. Kakek ini juga menyisakan satu bagian untuk disedekahkan lagi kepada orang lain. MasyaAllah! Luar biasa hatinya. Bagi kita semua, bila melintasi Jl. T. Hasan Dek ke arah Simpang Surabaya, belilah dagangan kakek ini. Dia tidak meminta-minta bukan karena dia memiliki banyak harta, melainkan ia berupaya menutup dirinya terhina. 

2 Responses to "Moral dalam Satu Sisir Pisang"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel