Moral dalam Satu Sisir Pisang
![]() |
Kakek Penjual Pisang |
Pagi ini ada banyak sekali pelajaran
yang dapat kutuai. Mulai dari jam 03.45 wib, sontak terjaga, aku teringat belum
shalat isya karena semalam cepat tertidur, lelap sekali akibat lelah seharian.
Aku pun bergegas untuk shalat. Bersyukur Allah menyayangiku dengan membangunkanku. Coba kalau tidak, sudah berdosa sekali meninggalkan shalat, kan? Alhamdulillah.
Setelah itu, sadar bahwa ada tulisan yang
semestinya kuselesaikan semalam, maka aku pun membuka laptop dan mulai mengetik. Sesekali
kubaca bahan rujukan tulisanku, agar tidak salah dalam menyampaikan datanya.
Temanya tentang keberadaan masjid di negara istananya para dewa. Negara di atap
dunia. Apalagi kalau bukan Tibet. Baiklah, tinggalkan sejenak tentang Tibet,
aku ingin cerita tentang pagiku hari ini.
Aku selesaikan tulisan sekira-kira
pukul 06.30 wib, setelah disela oleh shalat subuh terlebih dahulu tentunya. Lanjut
dengan sarapan pagi, mencuci beberapa potong pakaian, kemudian mandi. Biasanya
aku berangkat kerja selalu sekalian dengan Husnul berangkat ke sekolah. Hari
ini karena ia buru-buru, jam ngajar pagi, kubiarkan saja dia pergi lebih dulu. Ingatku,
nanti aku biar diantar saja dengan kendaraan abang.
Selesai berkemas, jam sudah
menunjukkan pukul 08.20 pagi. Tiba-tiba abang dihubungi oleh rekannya yang
mendadak butuh bantuan. Benar-benar tidak terduga, kebutuhannya mendesak. Ya
sudahlah, aku ikhlaskan saja. Aku meminta abang membantu rekannya lebih dulu,
sementara aku bisa menghubungi rekan kerjaku agar dijemput.
Sejenak aku berpikir, mungkin ini
sudah jalan Allah, barangkali akan ada suatu hikmah. Ada baiknya aku pergi dengan
kendaraan umum saja, tanpa harus merepotkan Kak Lya (rekanku). Akhirnya aku pun
berjalan dari rumah menuju jalan raya. Jaraknya kurang lebih 1 KM. Salahnya,
aku tetap mengenakan high heels, sebagaimana
biasanya. Semestinya bisa kuganti dengan sandal atau sepatu kets saja, kan? Aku lupa. Huft, baru setengah jalan, rasanya perih sekali di setiap ujung jari kaki.
***
Akhirnya, tiba juga di simpang. Aku
tak perlu menunggu lama, labi-labi pun tiba. Segera saja aku bergegas menuju
labi-labi. Terkejutlah! Ternyata satu-satunya penumpang yang ada dalam
labi-labi saat itu adalah kakek tua yang kerap kita jumpai di simpang Surabaya.
Tentunya kita semua ingat, kakek renta yang berjualan dibawah kontruksi
billboard itu, menjajakan pisang barangan, dagangan khas beliau.
Sepanjang perjalanan dari Lam Ateuk -
Ulee Kareng kami berbincang, aku bertanya banyak hal. Kakek ini ternyata masih
memiliki keluarga yang utuh. Ia sangat menikmati mencari rizki untuk keluarga,
tanpa mau menadah tangan, sebab meminta-minta adalah sebuat tindakan kehinaan. Ia
menceritakan tentang kebaikan para
pembeli; langganannya.
“Kadang ada pembeli, ketika ditanya
harga, saya katakan: Rp 15.000,-/ sisir, mereka lantas memberi saya lembaran Rp
100.000,- dan menolak saat saya beri kembaliannya. Alhamdulillah, ini semua
rezeki dari Allah.” Ujarnya.
“Tabi siploh geubalah seureutoh, janji bak Allah
hana meutuka (saat kita memberikan kepada orang lain 10 maka akan mendapat
balasan 100, itu janji Allah.” Imbuhnya lagi.
Kakek itu juga menyatakan, pernah
suatu hari datang seorang pemudi seusiaku, ia kelelahan seharian mencari
lowongan kerja di Banda Aceh, namun tidak menemukan pekerjaan. Sudah berbulan-bulan
setelah sarjana ia masih menjadi pengangguran. Ia menyodorkan infak Rp
100.000,- kepada kakek tersebut, dan saat kakek memberinya pisang, ia menolak, katanya
“Doakan saja kebaikan untuk saya, Kek!”
Selang dua minggu kemudian, perempuan
itu datang untuk membeli pisang. Ia bersyukur dan berterimakasih sembari
memberi kabar bahwa ia telah mendapat pekerjaan. “Kita hanya meminta kepada
Allah dengan hati yang bersih, Allah yang memiliki dan memberi segalanya”
Tambah Si kakek.
Sesekali aku berpaling, agar bening-bening
dipelupuk mata ini tak kunjung jatuh. Aku terharu dengannya. Ia tegar, kuat, dan
penuh semangat. Berpikir positif terhadap kehidupan. Inilah hikmah dari
keputusanku untuk jalan kaki sepanjang 1 kilo meter. Lecet kaki tidak berarti
dibandingkan pelajaran besar hari ini.
Kakek ini menyatakan bahwa apa yang
ia peroleh adalah karunia dari Allah melalui tangan hamba-Nya. Ia tak luput
bersyukur dan mendoakan kepada Allah agar para dermawan yang singgah untuk
membeli dan memberinya infak agar dimudahkan rezki oleh Allah.
Dari sekian yang dia peroleh, ternyata
tidak semuanya dibawa pulang untuk istri dan anaknya saja. Kakek ini juga
menyisakan satu bagian untuk disedekahkan lagi kepada orang lain. MasyaAllah!
Luar biasa hatinya. Bagi kita semua, bila melintasi Jl. T. Hasan Dek ke arah Simpang
Surabaya, belilah dagangan kakek ini. Dia tidak meminta-minta bukan karena dia
memiliki banyak harta, melainkan ia berupaya menutup dirinya terhina.
Mameh that tulisan nyoe. :-)
BalasHapusAlhamdulillah.. Sama manisnya dengan komentar Icha. :)
Hapus