Pamali "Han Mee" di Aceh
![]() |
Mesjid Teuku Umar, Seutui - Kota Banda Aceh |
Aceh merupakan wilayah paling barat Indonesia. Letak geografisnya sangat strategis dan hasil alam berlimpah menjadikan Aceh sebagai “jalur sutra” perdagangan dunia. Banyak pedagang yang berangkat dari berbagai pangkalan pelayaran akhirnya singgah di Aceh. Tercatat dalam sejarah, bahwa pada pertengahan abad ke-13 Masehi, seorang pedagang dari Maroko yang bernama Ibnu Batutah pernah singgah di Aceh. Saat itu, ia menyaksikan penduduk negeri Aceh telah memeluk Islam di bawah naungan kerajaan Islam yang bernama Samudra Pasai.
Aceh bahkan pernah menjadi salah satu
dari lima kerajaan Islam terbesar di dunia pada abad ke-15, yaitu Kerajaan Islam Aceh Darussalam di
Asia Tenggara. Selainnya, ada Kerajaan Islam Turki Ustmaniyah di Istanbul, Kerajaan
Islam Isfahan di Timur Tengah, Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara dan Kerajaan
Islam di India. Para pedagang tidak hanya berlayar untuk kepentingan jual beli,
namun juga membawa misi keagamaan. Ya, menyebarkan agama Islam.
Islam adalah agama dengan seperangkat
aturan baku yang melingkupi segala aspek. Didasari oleh akidah yaitu pengakuan
akan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, lanjut kemudian konsep penghambaan yaitu
syari’at. Syari’at Islam mencakup ketentuan ibadah, pembelaan agama,
pendidikan, ekonomi, tatanan keluarga sampai interaksi sosial. Hingga kini, hal
inilah yang menjadi ciri khas Aceh. Melekat kuat dengan agamanya. Tidak hanya
dalam konsep aturan baku, bahkan adat pun demikian. Budaya disesuaikan dengan
ketentuan agama.
Budaya Aceh hampir keseluruhannya telah
mengalami akulturasi dari kebudayaan Arab dan Timur. Ini tentu saja dipengaruhi
oleh latar belakang Aceh yang didominasi oleh pemeluk ajaran Islam, sejak
dahulu. Agama yang disebarkan oleh pedagang yang berasal dari Arab dan Timur. Disebutkan
dalam sebuah pepatah (hadih maja); hukôm
ngôn adat lagèë zat ngôn sifeut, syih han jeut meupisah dua (hukum dengan adat seperti zat dengan sifat,
memang tidak dapat dipisahkan). Tidak hanya dalam aktivitas siklus hidup,
selayak upacara pernikahan, kelahiran, kematian maupun budaya lainnya. Korelasi
ini bahkan tercermin dalam pola hidup sehari-hari.
Di Aceh
Besar khususnya, ketentuan hukum syara’ tidak terhenti pada lima sub besar:
haram, halal, makruh, sunat, dan mubah, melainkan ada istilah “han mee,”
satu lagi. Pantangan Ini tak kalah pentingnya. Berbeda dari yang lainnya, han
mee lebih kepada aspek norma/akhlak, meski pun punishment-nya bukan
berupa azab akhirat, melainkan hukuman sosial dari lingkungan. Meninggalkan han
mee dengan sendirinya telah mencirikan pribadi muslim yang beradab, sopan
santun dan menjunjung tata karma. Adapun beberapa kondisi yang dikategori han
mee antara lain:
1. Duduk di
ambang pintu.
Anak-anak
yang duduk di ambang pintu akan segera ditegur, bahkan dengan nada keras, bila
ia tidak menggubris. Tetua zaman dahulu (ureung jameun) sangat percaya
bahwa perbuatan semacam ini dapat menghambat rezeki, apalagi bila kita duduk
saat pagi hari. Maka han mee duduk di ambang pintu. Pada dasarnya,
keadaan ini lebih kepada melarang kita untuk bermalas-malasan. Pagi hari
bukanlah saat yang tepat untuk duduk-duduk santai. Kita harus bergiat, bekerja
mencari nafkah. Apa pun yang bisa kita kerjakan. Lebih dari pada itu, duduk di ambang
pintu dapat menghalangi orang yang hendak melintas keluar-masuk.
2. Melangkahi orang yang sedang duduk
Bagi
perempuan, apalagi seorang ibu hamil yang tengah duduk berselonjor, maka
pantang ia dilangkahi. Berimbas kepada terhambat proses persalinannya nanti.
Kepercayaan ini diyakini secara turun-temurun. Hakikatnya, larangan melangkahi
ini merupakan ketentuan adab. Hendaklah berakhlak baik terhadap wanita. Konon
lagi mereka adalah para ibu yang berjuang keras mengandung dan melahirkan kita
dengan mempertaruhkan nyawanya. Seserorang yang berani melangkahi begitu saja,
akan dianggap tak sempurna mengunakan akal hingga ia akan dicemoohi oleh
lingkungannya. Sampai pada tingkatan itu Aceh memuliakan perempuan.
3. Duduk di
depan Tampi (Jeu ee) ketika sedang digunakan.
Umumnya Di
Aceh Besar, untuk menanak nasi, terlebih dahulu ibu-ibu membersihkan berasnya dengan
Tampi. Anak perempuan pantang duduk bahkan lalu-lalang di hadapan orang yang
sedang menampi beras. Han mee, berakibat kepada jauh jodohnya nanti.
Padahal, kalau kita pikir, perkara jodoh adalah ketetapan hakikat yang tidak dipengaruhi
oleh hanya sekedar Tampi yang terbuat dari anyaman rotan itu. Tak ada
hubungannya sama sekali.
Pada
dasarnya larangan duduk di depan Tampi hanya agar tidak menghadang angin yang
mempermudah membersihkan beras, menerbangkan dedak dan kulit padi yang masih terdapat di dalam beras. Pun juga agar pakaian kita tidak kotor. Kan begitu kan
ya?
4. Menyapu dan
membuang sampah di malam hari.
Konon,
kabarnya, menyapu dan membuang sampah di malam hari dapat mempusakai papa. Selain
itu, memotong rambut, meotong kuku dan mencarik kain bahan jahitan juga di
hukumi demikian, han mee bila dilakukan di malam hari. Pusaka papa maknanya;
kita akan didera kesulitan hidup. Meskipun banyak yang kita peroleh, tetap saja
tidak akan membuat kita tenang, ada saja perasaan kurang. Meningkatnya
pendapatan linear terhadap pengeluaran. Saya tidak tahu pasti alasan lain untuk
han mee yang satu ini. Setiap saya coba menanyakan dengan jelas kepada
orang tua, kata-katanya terhenti di “geupeugah han mee, kakeuh han mee! (kalau
dibilang pamali, ya sudah, pamali!)”
5. Perempuan
keluar rumah di malam hari
“Kalau
laki-laki sering keluar malam, kemungkinan besar yang terjadi padanya adalah
banyak menghabiskan uang, untuk jajan. Berbeda dengan perempuan, sering keluar
malam berpotensi untuk menghasilkan banyak uang, apalagi kalau sudah
profesional.” Ungkapan diatas pernah diucapkan oleh seorang komedian intelek asal
Indonesia. Dinilai dari sudut konotasi maupun denotasi, saya rasa kalimat
tersebut di atas ada benarnya.
Bila
dikaitkan dengan norma yang berlaku di kampung-kampung pinggiran Kota Banda
Aceh, nyaris setiap keluarga melarang gadisnya kelayapan di malam hari. Itu bisa
berimbas kepada munculnya fitnah. Ketentuan han mee yang satu ini memang
sangat relevan, sesuai dengan faktual dan mudah dilerai maknanya oleh akal. Tidak
sepatutnya perempuan keluar malam tanpa mahram, kecuali karena kebutuhan
mendesak (mudharat) yang berdampak besar bila tidak dikerjakan.
Selain beberapa han mee yang telah saya sebutkan di atas, banyak lagi hal lainnya. Ini
hanya sebatas gambaran umum dari sepetak Aceh Besar. Barangkali di wilayah
lainnya di Aceh, ada banyak hal pamali lain, yang kesemuanya itu memiliki
makna. Bukan tanpa alasan.
Demikianlah, Aceh dengan segala khazanah
dan keistimewaannya. Berhasil mengelaborasi hukum kedalam tatanan hidup.
Meleburkan norma dan adab dalam adat dan kebiaasaan. Hebatnya, falsafah hidup
ini diwariskan secara turun-temurun dengan tanpa gugatan. Generasinya yang
patuh, meski dengan doktrin han mee
yang tak mudah dijangkau akal sehat,
namun mereka percaya itu semua ada penjelasan ilmiahnya. Sebagaimana tersebut
di dalam pepatah “But ureung awai cit ka
meuteunte, geutanyo manteng ta rika-rika (Perbuatan orang dahulu memang sudah
kongkrit, kita hanya menebak-nebak.) Sebab, agama Islam ini bukanlah produk
baru. Ia pedoman hidup, risalah dari Rasulullah yang diteruskan estafetnya oleh
orang terdahulu, hingga sampai pada kita.
Poin nomor 1 dan nomor 4 pernah saya baca dalam terjemahan kitab ta'lim mutaallim..jadi itu bukan hanya di aceh saja :)
BalasHapusOo.. Begitu, ya. Aceh memang identik dengan agama. Terima kasih komentarnya, Pak :)
Hapus