UA-153487531-1 Pamali "Han Mee" di Aceh - Aini Aziz

Pamali "Han Mee" di Aceh

Mesjid Teuku Umar, Seutui - Kota Banda Aceh

Aceh merupakan wilayah paling barat Indonesia. Letak geografisnya sangat strategis dan hasil alam berlimpah menjadikan Aceh sebagai “jalur sutra” perdagangan dunia. Banyak pedagang yang berangkat dari berbagai pangkalan pelayaran akhirnya singgah di Aceh. Tercatat dalam sejarah, bahwa pada pertengahan abad ke-13 Masehi, seorang pedagang dari Maroko yang bernama Ibnu Batutah pernah singgah di Aceh. Saat itu, ia menyaksikan penduduk negeri Aceh telah memeluk Islam di bawah naungan kerajaan Islam yang bernama Samudra Pasai.

Aceh bahkan pernah menjadi salah satu dari lima kerajaan Islam terbesar di dunia pada abad ke-15, yaitu Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia Tenggara. Selainnya, ada Kerajaan Islam Turki Ustmaniyah di Istanbul, Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah, Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara dan Kerajaan Islam di India. Para pedagang tidak hanya berlayar untuk kepentingan jual beli, namun juga membawa misi keagamaan. Ya, menyebarkan agama Islam.

Islam adalah agama dengan seperangkat aturan baku yang melingkupi segala aspek. Didasari oleh akidah yaitu pengakuan akan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, lanjut kemudian konsep penghambaan yaitu syari’at. Syari’at Islam mencakup ketentuan ibadah, pembelaan agama, pendidikan, ekonomi, tatanan keluarga sampai interaksi sosial. Hingga kini, hal inilah yang menjadi ciri khas Aceh. Melekat kuat dengan agamanya. Tidak hanya dalam konsep aturan baku, bahkan adat pun demikian. Budaya disesuaikan dengan ketentuan agama.

Budaya Aceh hampir keseluruhannya telah mengalami akulturasi dari kebudayaan Arab dan Timur. Ini tentu saja dipengaruhi oleh latar belakang Aceh yang didominasi oleh pemeluk ajaran Islam, sejak dahulu. Agama yang disebarkan oleh pedagang yang berasal dari Arab dan Timur. Disebutkan dalam sebuah pepatah (hadih maja); hukôm ngôn adat lagèë zat ngôn sifeut, syih han jeut meupisah dua (hukum dengan adat seperti zat dengan sifat, memang tidak dapat dipisahkan). Tidak hanya dalam aktivitas siklus hidup, selayak upacara pernikahan, kelahiran, kematian maupun budaya lainnya. Korelasi ini bahkan tercermin dalam pola hidup sehari-hari.

Di Aceh Besar khususnya, ketentuan hukum syara’ tidak terhenti pada lima sub besar: haram, halal, makruh, sunat, dan mubah, melainkan ada istilah “han mee,” satu lagi. Pantangan Ini tak kalah pentingnya. Berbeda dari yang lainnya, han mee lebih kepada aspek norma/akhlak, meski pun punishment-nya bukan berupa azab akhirat, melainkan hukuman sosial dari lingkungan. Meninggalkan han mee dengan sendirinya telah mencirikan pribadi muslim yang beradab, sopan santun dan menjunjung tata karma. Adapun beberapa kondisi yang dikategori han mee antara lain:

1. Duduk di ambang pintu.

Anak-anak yang duduk di ambang pintu akan segera ditegur, bahkan dengan nada keras, bila ia tidak menggubris. Tetua zaman dahulu (ureung jameun) sangat percaya bahwa perbuatan semacam ini dapat menghambat rezeki, apalagi bila kita duduk saat pagi hari. Maka han mee duduk di ambang pintu. Pada dasarnya, keadaan ini lebih kepada melarang kita untuk bermalas-malasan. Pagi hari bukanlah saat yang tepat untuk duduk-duduk santai. Kita harus bergiat, bekerja mencari nafkah. Apa pun yang bisa kita kerjakan. Lebih dari pada itu, duduk di ambang pintu dapat menghalangi orang yang hendak melintas keluar-masuk.

2. Melangkahi orang yang sedang duduk

Bagi perempuan, apalagi seorang ibu hamil yang tengah duduk berselonjor, maka pantang ia dilangkahi. Berimbas kepada terhambat proses persalinannya nanti. Kepercayaan ini diyakini secara turun-temurun. Hakikatnya, larangan melangkahi ini merupakan ketentuan adab. Hendaklah berakhlak baik terhadap wanita. Konon lagi mereka adalah para ibu yang berjuang keras mengandung dan melahirkan kita dengan mempertaruhkan nyawanya. Seserorang yang berani melangkahi begitu saja, akan dianggap tak sempurna mengunakan akal hingga ia akan dicemoohi oleh lingkungannya. Sampai pada tingkatan itu Aceh memuliakan perempuan.

3. Duduk di depan Tampi (Jeu ee) ketika sedang digunakan.

Umumnya Di Aceh Besar, untuk menanak nasi, terlebih dahulu ibu-ibu membersihkan berasnya dengan Tampi. Anak perempuan pantang duduk bahkan lalu-lalang di hadapan orang yang sedang menampi beras. Han mee, berakibat kepada jauh jodohnya nanti. Padahal, kalau kita pikir, perkara jodoh adalah ketetapan hakikat yang tidak dipengaruhi oleh hanya sekedar Tampi yang terbuat dari anyaman rotan itu. Tak ada hubungannya sama sekali.

Pada dasarnya larangan duduk di depan Tampi hanya agar tidak menghadang angin yang mempermudah membersihkan beras, menerbangkan dedak dan kulit padi yang masih terdapat di dalam beras. Pun juga agar pakaian kita tidak kotor. Kan begitu kan ya?

4. Menyapu dan membuang sampah di malam hari.

Konon, kabarnya, menyapu dan membuang sampah di malam hari dapat mempusakai papa. Selain itu, memotong rambut, meotong kuku dan mencarik kain bahan jahitan juga di hukumi demikian, han mee bila dilakukan di malam hari. Pusaka papa maknanya; kita akan didera kesulitan hidup. Meskipun banyak yang kita peroleh, tetap saja tidak akan membuat kita tenang, ada saja perasaan kurang. Meningkatnya pendapatan linear terhadap pengeluaran. Saya tidak tahu pasti alasan lain untuk han mee yang satu ini. Setiap saya coba menanyakan dengan jelas kepada orang tua, kata-katanya terhenti di “geupeugah han mee, kakeuh han mee! (kalau dibilang pamali, ya sudah, pamali!)

5. Perempuan keluar rumah di malam hari

“Kalau laki-laki sering keluar malam, kemungkinan besar yang terjadi padanya adalah banyak menghabiskan uang, untuk jajan. Berbeda dengan perempuan, sering keluar malam berpotensi untuk menghasilkan banyak uang, apalagi kalau sudah profesional.” Ungkapan diatas pernah diucapkan oleh seorang komedian intelek asal Indonesia. Dinilai dari sudut konotasi maupun denotasi, saya rasa kalimat tersebut di atas ada benarnya.
Bila dikaitkan dengan norma yang berlaku di kampung-kampung pinggiran Kota Banda Aceh, nyaris setiap keluarga melarang gadisnya kelayapan di malam hari. Itu bisa berimbas kepada munculnya fitnah. Ketentuan han mee yang satu ini memang sangat relevan, sesuai dengan faktual dan mudah dilerai maknanya oleh akal. Tidak sepatutnya perempuan keluar malam tanpa mahram, kecuali karena kebutuhan mendesak (mudharat) yang berdampak besar bila tidak dikerjakan.

Selain beberapa han mee yang telah saya sebutkan di atas, banyak lagi hal lainnya. Ini hanya sebatas gambaran umum dari sepetak Aceh Besar. Barangkali di wilayah lainnya di Aceh, ada banyak hal pamali lain, yang kesemuanya itu memiliki makna. Bukan tanpa alasan.

Demikianlah, Aceh dengan segala khazanah dan keistimewaannya. Berhasil mengelaborasi hukum kedalam tatanan hidup. Meleburkan norma dan adab dalam adat dan kebiaasaan. Hebatnya, falsafah hidup ini diwariskan secara turun-temurun dengan tanpa gugatan. Generasinya yang patuh, meski dengan doktrin han mee yang tak mudah dijangkau akal sehat, namun mereka percaya itu semua ada penjelasan ilmiahnya. Sebagaimana tersebut di dalam pepatah “But ureung awai cit ka meuteunte, geutanyo manteng ta rika-rika (Perbuatan orang dahulu memang sudah kongkrit, kita hanya menebak-nebak.) Sebab, agama Islam ini bukanlah produk baru. Ia pedoman hidup, risalah dari Rasulullah yang diteruskan estafetnya oleh orang terdahulu, hingga sampai pada kita.

2 Responses to "Pamali "Han Mee" di Aceh"

  1. Poin nomor 1 dan nomor 4 pernah saya baca dalam terjemahan kitab ta'lim mutaallim..jadi itu bukan hanya di aceh saja :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oo.. Begitu, ya. Aceh memang identik dengan agama. Terima kasih komentarnya, Pak :)

      Hapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel