"Pungo, Kah! Lonte, Kah!" Aku dan Orang dengan Gangguan Jiwa
Pagi masih menyisakan sejuk. Tetesan air sisa hujan semalam jatuh satu-satu dari pucuk rumpun bambu di tepi pintu gerbang kantor, tempat aku bekerja sehari-hari. Tidak seperti biasanya, pagi ini keadaan kantor cukup lengang. Teman-Teman yang biasa sejak pagi sudah riuh di gudang, hari ini tidak terdengar suara. Mungkin mereka sedang ada kerja di lapangan. Satpam pun tidak terlihat batang hidungnya, entah kenapa dia telat datang hari ini.
Aku berusaha mendorong pintu gerbang perlahan. Dari jarak yang tak jauh dariku, ada seorang yang berjalan tergesa-gesa. Tangan kirinya berkacak di pinggang sedangkan gepalan tangan kanan diangkat sejajar kepala, sesekali diayun, entah apa maksudnya. Wajahnya sangar, seperti tersimpan kebencian. Mulut merapal repetan. Hingga dekat yang tak lebih dari sepuluh langkah lagi dariku, dia bertambah marah.
"Pungo, Kah! Lonte, Kah! (Gila, Kamu! Jalang, Kamu!" Pekiknya ke arahku. Aku benar-benar ketakutan, waktu itu. Pintu gerbang dari plat alucobond dan teralis yang sedang kupegang ini pun cukup berat, tak bisa kubuka segera. Keringat dingin menguak pori untuk keluar dan lutut gemetar cukuplah sebagai bukti bahwa aku benar-benar takut.
"Ya.. Rabb..! Teguran dari Engkau kah ini?" Dalam hatiku menggumam.
Dia terus saja mengulang-ulang hardikan itu, seakan aku makhluk paling dibencinya. Padahal, sebelum ini kami tidak pernah terlibat bincang sama sekali. Saling kenal pun tidak. Aku hanya sering melihatnya lewat, dari arah Lamgapang menuju Simpang Tujuh Ulee Kareng, atau pulang melintasi jalan yang sama. Setahuku, dia penduduk asli Lamgapang. Namanya si Reen. Demikian menurut informasi dari teman-teman di gudang.
![]() |
Si Reen melintas di jalan Lamgapang |
Sebelumnya sudah pernah diingatkan oleh atasanku; "Kalau kalian jumpa si Reen, jangan panik! Dia tidak akan menyakiti siapa-siapa kalau kita tidak lebih dahulu mengusiknya. Tapi, jujur, kali ini aku merasa dizalimi dengan kalimatnya itu. Aku tahu, si Reen adalah Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), maka tak semestinya aku menggubris hardikannya. Jika kubalas dengan menyumpah-serapahi hal yang sama, itu artinya aku sama seperti dia. Padahal jiwaku sehat, baik-baik saja.
Sejurus kemudian, setelah dia puas dengan cacian itu, lalu pergi meninggalkan aku dengan menanggung pesaan tak karuan. Aku masih berpikir lamat-lamat, kenapa si Reen menyumpahiku demikian. Aku dikatai gila dengan kewarasanku oleh orang yang terganggu jiwa. Aku dikatai jalang sedangkan selama ini aku berupaya menjaga diri seterhormat mungkin sebagaimana aturan Tuhan. Apakah ini teguran dari Allah, agar aku bermuhasabah diri lagi? Entah kadang ada yang salah dengan niat ibadahku selama ini.
Jujur saja, aku tidak pernah melihat ODGJ dengan pandangan cela/hina. Mereka hamba Allah, sama juga seperti kita. Mereka seperti itu bukan atas dasar hajat hati. Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya menjadi ODGJ. Tidak ada anak yang ingin terlahir dari orang tua seorang ODGJ. Bila kita berada pada posisi mereka, menjadi bagian dari keluarga mereka, pastinya kita akan sedih melihat diskriminan lingkungan terhadap mereka, kan?
Sebenarnya, dari orang dengan gangguan jiwa pun kadang kita bisa mengambil pelajaran. Banyak falsafah hidup. Bila teman-teman pengagum kisah sufi, tentu tidak asing dengan seorang ulama sufi termasyhur yang bernama Syeh Junaid Al Baghdadi. Ia pernah diajarkan kebijaksaan oleh seorang ODGJ. Saat muridnya melarang Syeh, beliau tidak menggubris. Tetap bersikukuh untuk menjumpai si Bahlul.
Kisahnya, dalam sebuah perjalanan, Syeh berjumpa dengan Si Bahlul (Bahlul: kata dari bahasa Arab, artinya gila) sedang gelisah sambil merapatkan kepalanya ke tembok. Syeh mendekatinya, lalu menyapanya. Bahlul itu balik badan dan bertanya; "Siapa engkau?" Syeh menjawab; "Aku Junaid Al Baghdadi."
Bahlul bertanya lagi; "Apakah engkau Al Baghdadi yang memberikan petunjuk spiritual kepada orang-orang?"
"Benar, saya!" Jawab Syeh Junaid, kemudian.
"Tahukan Anda bagaimana cara makan?" Tanya si Bahlul lagi.
"Saya mengucap bismillah, mengambil yang paling dekat dengan saya, dengan gigitan kecil, mengunyah perlahan dari sisi kanan rongga mulut saya. Untuk setiap apa yang saya makan, saya tidak pernah lupa mengucap syukur kepada Allah; Alhamdulillah. Sebelum dan sesudah makan, saya selalu mencuci tangan." Syeh Junaid mendetili kebiasaannya.
Bahlul bangkit dari duduknya, mengibas baju ke arah Syeh Junaid dan berkata; "Anda ingin menjadi pemimpin spiritual dunia, bahkan untuk makan pun Anda tidak mengetahui bagaimana caranya." Setelah itu, Bahlul segera pergi meninggalkan Syeh Junaid.
Para murid Syeh Junaid kembali menyarankan agar beliau tidak memerdulikan perkataan seseorang dengan gangguan jiwa tersebut. Namun demikian, Syeh Junaid tetap saja mengikutinya, membuntuti si Bahlul. Saat Bahlul mencapai suatu tempat yang bisa disinggahi, dia pun duduk. Syeh Junaid menyapanya lagi.
"Siapa engkau?" Tanya Bahlul.
"Saya adalah Junaid Al Baghdadi yang tidak tahu bagaimana cara makan."
"Anda tidak mengetahui bagaimana cara makan, tapi, apakah Anda mengetahui bagaimana caranya berbicara?"
"Ya, saya berbicara secara umum dan langsung pada pokok permasalahan. Saya tidak berbicara terlalu tinggi atau terlalu banyak. Saya berbicara sehingga para pendengar dapat mengerti. Saya menyeru semua orang untuk kembali ke jalan Allah dan Rasul-Nya." Syeh Junaid menguraikan serangkaian adabnya dalam berbicara.
"Lupakan soal makan, bahkan Anda tidak mengetahui cara berbicara." Ucap Bahlul sembari bangkit dan kembali pergi meninggalkan Syeh Junaid di situ. Syeh Junaid tetap menyusulnya meskipun para muridnya terus saja meminta Syeh agar tidak menggubris perkataan si Bahlul yang dipahamkan gila oleh banyak orang.
Ketika Bahlul berhenti, Syeh Junaid menyapanya lagi. Ini kali ke tiga. Bahlul bertanya "Apa yang Anda inginkan dari saya. Anda seorang yang tidak mengetahui adab makan dan berbicara. Apakah Anda tahu bagaimana caranya tidur?"
Syeh Junaid menjawab dengan menyampaikan serangkaian sunnah yang dilakukannya saat hendak tidur. Sayangnya, Bahlul menunjukkan sikap kekecewaan. Sama sekali tidak puas dengan jawaban pemuka agama itu. Ia mengatakan, bahkan Syeh Junaid tidak mengetahui bagaimana caranya tidur.
Bahlul bangun dan hendak pergi, namun Syeh Junaid meraih tangannya. Lalu berkata; "O, Bahlul! Saya memang tidak mengetahuinya. Demi kecintaan kepada Allah, ajarkanlah saya." Barulah Bahlul kemudian angkat bicara.
"Serangkaian sunnah yang Anda sampaikan itu tidak lah penting, bahwa Anda memakan dengan gigitan yang kecil, mengunyahnya perlahan di sisi kanan, membaca bismillah, dan lainnya, bila Anda tidak terlebih dahulu memerhatikan apa yang Anda makan; jika Anda makan apa yang dilarang, itu tidak akan bermanfaat bagi Anda melainkan menjadi penyebab hitamnya hati."
Bahlul menambahkan; "Hati haruslah bersih, memiliki niat yang baik ketika Anda hendak berbicara. Pembicaraan Anda haruslah menyenangkan Allah. Jika itu untuk urusan dunia atau hal yang sia-sia, apa pun yang Anda ucapkan akan menjadi bencana bagi Anda. Itulah makanya diam terlebih baik."
"Apapun yang Anda utarakan tentang tidur juga tidak penting. Kebenaran adalah bahwa hati Anda harus bersih dari cemburu dan kebencian. Ingatlah Allah saat Anda tidur." Imbuhnya lagi.
Mendengar ucapan itu, Syeh Junaid mencium tangan Bahlul. Para muridnya tertegun. Betapa itu merupakan peristiwa besar yang menggetarkan hati mereka.
Kembali kepada diriku dengan si Reen. Setelah kejadian itu, aku sudah terbiasa diteriaki "Pungo, Kah!" olehnya. Setiap berjumpa, aku selalu membuka bicara. Kadang kusapa, "Ho meujak, Reen? (Mau kemana, Reen)?" Jawabannya masih sama; "Pungo, Kah!". Harapan terbesarku setiap berjumpa si Reen adalah mampu membangun komunikasi dua arah dengannya. Bila itu bisa, aku akan merasa cukup sukses dalam interaksi sosial.
Kemarin aku berjumpa dia sedang menjinjing sandal, aku bilang; "Bek sut silop, Reen! Teutop aki eunteuk (jangan buka sandal, Reen! Tertusuk kaki dengan duri, nanti)." Responnya masih sama; "Pungo, Kah!" Kuakui, si Reen memang bukan jelmaan Bahlul yang bijaksana itu. Namun, cerminan kebijaksanaan Bahlul telah menyadarkanku bahwa si Reen patut diperlakukan baik juga, sebagaimana manusia lainnya. Orang dengan gangguan jiwa berbicara dalam ketidaksadaran akalnya. Kesadaran akal kita harus mampu mengambil hikmah dari mereka.
Dari teriakan "Pungo, Kah!" terhadapku, siapa tahu, ada makna lain yang tersirat. Konotasi kegilaan. Aku menggilai pencapaian dunia. Setiap hari menggundikkan diri pada keinginan-keinginan duniawi. Pergi pagi pulang petang, mengulang aktivitas yang sama secara terus-menerus. Apa artinya semua ini bila tanpa melibatkan peran iman di dalamnya. Bahkan tidak berguna segunung emas yang kita kumpulkan di dunia tanpa kesadaran (efek ruhiyah) bahwa kita akan kembali kepada Allah.
Dari teriakan "Lonte, Kah!" -meskipun kata itu hanya diucapkannya saat moment pertama kalinya dia menghardikku, setelahnya sudah tidak pernah lagi, mungkin si Reen sudah disadarkan, kata itu tak patut untukku- Siapa tahu, ini sebentuk teguran atas sikapku yang belum berumah tangga. Aku tidak mengindahkan sunnah rasul; menyegerakan menikah di usia muda. Agaknya mulai sekarang aku harus berpikir ke arah itu. Meskipun dengan siapa nantinya, aku pun belum tahu. Ah, sudahlah! Tidak boleh kita tulis panjang-panjang tentang perasaan, bisa-bisa dibully kita sama teman-teman.
“Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Aku dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang diselenggarakan oleh Liza Fathia dan Si Tunis”
![]() |
tukartiub[.]siteblogs |
Kisahnya, dalam sebuah perjalanan, Syeh berjumpa dengan Si Bahlul (Bahlul: kata dari bahasa Arab, artinya gila) sedang gelisah sambil merapatkan kepalanya ke tembok. Syeh mendekatinya, lalu menyapanya. Bahlul itu balik badan dan bertanya; "Siapa engkau?" Syeh menjawab; "Aku Junaid Al Baghdadi."
Bahlul bertanya lagi; "Apakah engkau Al Baghdadi yang memberikan petunjuk spiritual kepada orang-orang?"
"Benar, saya!" Jawab Syeh Junaid, kemudian.
"Tahukan Anda bagaimana cara makan?" Tanya si Bahlul lagi.
"Saya mengucap bismillah, mengambil yang paling dekat dengan saya, dengan gigitan kecil, mengunyah perlahan dari sisi kanan rongga mulut saya. Untuk setiap apa yang saya makan, saya tidak pernah lupa mengucap syukur kepada Allah; Alhamdulillah. Sebelum dan sesudah makan, saya selalu mencuci tangan." Syeh Junaid mendetili kebiasaannya.
Bahlul bangkit dari duduknya, mengibas baju ke arah Syeh Junaid dan berkata; "Anda ingin menjadi pemimpin spiritual dunia, bahkan untuk makan pun Anda tidak mengetahui bagaimana caranya." Setelah itu, Bahlul segera pergi meninggalkan Syeh Junaid.
Para murid Syeh Junaid kembali menyarankan agar beliau tidak memerdulikan perkataan seseorang dengan gangguan jiwa tersebut. Namun demikian, Syeh Junaid tetap saja mengikutinya, membuntuti si Bahlul. Saat Bahlul mencapai suatu tempat yang bisa disinggahi, dia pun duduk. Syeh Junaid menyapanya lagi.
"Siapa engkau?" Tanya Bahlul.
"Saya adalah Junaid Al Baghdadi yang tidak tahu bagaimana cara makan."
"Anda tidak mengetahui bagaimana cara makan, tapi, apakah Anda mengetahui bagaimana caranya berbicara?"
"Ya, saya berbicara secara umum dan langsung pada pokok permasalahan. Saya tidak berbicara terlalu tinggi atau terlalu banyak. Saya berbicara sehingga para pendengar dapat mengerti. Saya menyeru semua orang untuk kembali ke jalan Allah dan Rasul-Nya." Syeh Junaid menguraikan serangkaian adabnya dalam berbicara.
"Lupakan soal makan, bahkan Anda tidak mengetahui cara berbicara." Ucap Bahlul sembari bangkit dan kembali pergi meninggalkan Syeh Junaid di situ. Syeh Junaid tetap menyusulnya meskipun para muridnya terus saja meminta Syeh agar tidak menggubris perkataan si Bahlul yang dipahamkan gila oleh banyak orang.
Ketika Bahlul berhenti, Syeh Junaid menyapanya lagi. Ini kali ke tiga. Bahlul bertanya "Apa yang Anda inginkan dari saya. Anda seorang yang tidak mengetahui adab makan dan berbicara. Apakah Anda tahu bagaimana caranya tidur?"
Syeh Junaid menjawab dengan menyampaikan serangkaian sunnah yang dilakukannya saat hendak tidur. Sayangnya, Bahlul menunjukkan sikap kekecewaan. Sama sekali tidak puas dengan jawaban pemuka agama itu. Ia mengatakan, bahkan Syeh Junaid tidak mengetahui bagaimana caranya tidur.
Bahlul bangun dan hendak pergi, namun Syeh Junaid meraih tangannya. Lalu berkata; "O, Bahlul! Saya memang tidak mengetahuinya. Demi kecintaan kepada Allah, ajarkanlah saya." Barulah Bahlul kemudian angkat bicara.
"Serangkaian sunnah yang Anda sampaikan itu tidak lah penting, bahwa Anda memakan dengan gigitan yang kecil, mengunyahnya perlahan di sisi kanan, membaca bismillah, dan lainnya, bila Anda tidak terlebih dahulu memerhatikan apa yang Anda makan; jika Anda makan apa yang dilarang, itu tidak akan bermanfaat bagi Anda melainkan menjadi penyebab hitamnya hati."
Bahlul menambahkan; "Hati haruslah bersih, memiliki niat yang baik ketika Anda hendak berbicara. Pembicaraan Anda haruslah menyenangkan Allah. Jika itu untuk urusan dunia atau hal yang sia-sia, apa pun yang Anda ucapkan akan menjadi bencana bagi Anda. Itulah makanya diam terlebih baik."
"Apapun yang Anda utarakan tentang tidur juga tidak penting. Kebenaran adalah bahwa hati Anda harus bersih dari cemburu dan kebencian. Ingatlah Allah saat Anda tidur." Imbuhnya lagi.
Mendengar ucapan itu, Syeh Junaid mencium tangan Bahlul. Para muridnya tertegun. Betapa itu merupakan peristiwa besar yang menggetarkan hati mereka.
***
Kembali kepada diriku dengan si Reen. Setelah kejadian itu, aku sudah terbiasa diteriaki "Pungo, Kah!" olehnya. Setiap berjumpa, aku selalu membuka bicara. Kadang kusapa, "Ho meujak, Reen? (Mau kemana, Reen)?" Jawabannya masih sama; "Pungo, Kah!". Harapan terbesarku setiap berjumpa si Reen adalah mampu membangun komunikasi dua arah dengannya. Bila itu bisa, aku akan merasa cukup sukses dalam interaksi sosial.
Kemarin aku berjumpa dia sedang menjinjing sandal, aku bilang; "Bek sut silop, Reen! Teutop aki eunteuk (jangan buka sandal, Reen! Tertusuk kaki dengan duri, nanti)." Responnya masih sama; "Pungo, Kah!" Kuakui, si Reen memang bukan jelmaan Bahlul yang bijaksana itu. Namun, cerminan kebijaksanaan Bahlul telah menyadarkanku bahwa si Reen patut diperlakukan baik juga, sebagaimana manusia lainnya. Orang dengan gangguan jiwa berbicara dalam ketidaksadaran akalnya. Kesadaran akal kita harus mampu mengambil hikmah dari mereka.
Dari teriakan "Pungo, Kah!" terhadapku, siapa tahu, ada makna lain yang tersirat. Konotasi kegilaan. Aku menggilai pencapaian dunia. Setiap hari menggundikkan diri pada keinginan-keinginan duniawi. Pergi pagi pulang petang, mengulang aktivitas yang sama secara terus-menerus. Apa artinya semua ini bila tanpa melibatkan peran iman di dalamnya. Bahkan tidak berguna segunung emas yang kita kumpulkan di dunia tanpa kesadaran (efek ruhiyah) bahwa kita akan kembali kepada Allah.
Dari teriakan "Lonte, Kah!" -meskipun kata itu hanya diucapkannya saat moment pertama kalinya dia menghardikku, setelahnya sudah tidak pernah lagi, mungkin si Reen sudah disadarkan, kata itu tak patut untukku- Siapa tahu, ini sebentuk teguran atas sikapku yang belum berumah tangga. Aku tidak mengindahkan sunnah rasul; menyegerakan menikah di usia muda. Agaknya mulai sekarang aku harus berpikir ke arah itu. Meskipun dengan siapa nantinya, aku pun belum tahu. Ah, sudahlah! Tidak boleh kita tulis panjang-panjang tentang perasaan, bisa-bisa dibully kita sama teman-teman.
“Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Aku dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang diselenggarakan oleh Liza Fathia dan Si Tunis”
Meskipun ini pertama kalinya saya singgah di Noktah, tetapi banyak hal baru yang saya peroleh disini. Terlebih diksi dan tulisan yang benar-benar inspiratif. Bisa menafsirkan makna dibalik pesan, sekalipun itu dari Bahlul. :)
BalasHapusSaleum Blogger Kak Aini Aziz :)
Zahra.
Terima kasih banyak, Dik Zahra. Di blog, kita berupa menghidangkan apa yang kita punya. Semoga para tamu berkenan. :)
HapusNgeri juga yaa dikatain sama odgj, salut buat aini yg mau tetap mencoba menjalin komunikasi dengan si reen walau udh dikata2in
BalasHapusBegitulah, Kak. Aini ingin sekali bisa berkomunikasi dua arah dengan mereka.
Hapus